Pengembangan Bentuk Sediaan Oral Melalui Pembentukan Kompleks Inklusi Siklodekstrin

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Quipper

Asam p-metoksisinamat merupakan suatu senyawa bioaktif  turunan  senyawa etil-p-metoksisinamat (EPMS) yang berasal  dari   rimpang tanaman kencur (Kaempferia galanga L). APMS diketahui memberikan beberapa efek farmakologi di antaranya sebagai analgesik dan antiinflamasi. APMS dapat menghambat enzim cyclooxygenase 1 dan 2, dan memiliki aktivitas hambatan  nyeri lebih besar daripada asetosal. Oleh karenanya APMS berpotensi dikembangkan menjadi suatu bentuk sediaan farmasi.

Bentuk sediaan farmasi yang diberikan secara per oral, banyak dijumpai di pasaran dan merupakan bentuk sediaan yang mudah digunakan. Salah satu tantangan dalam  formulasi sediaan farmasi untuk penggunaan secara oral adalah kelarutan bahan aktif yang rendah dalam air.  Kelarutan bahan aktif yang rendah dalam air dapat menyebabkan laju disolusi merupakan tahapan penentu kecepatan absorbsi obat dalam saluran cerna. Hal ini menyebabkan bioavalabilitas  tidak menentu dan  berakibat pada efek terapi tidak optimal.  

APMS termasuk bahan aktif yang sukar larut dalam air. Upaya untuk meningkatkan kelarutan bahan aktif sukar larut air banyak dilakukan oleh para peneliti di antaranya adalah melalui pembentukan kompleks inklusi menggunakan senyawa siklodekstrin. Siklodekstrin merupakan senyawa oligosakarida memiliki struktur seperti kerucut terpotong, bagian dalam bersifat hidrofob dan bagian luar bersifat hidrofil. Ukuran rongga siklodekstrin ditentukan oleh  jumlah glukosa penyusunnya. Terdapat beberapa tipe siklodekstrin, yaitu yang banyak digunakan adalah  tipe α, β, γ siklodekstrin, masing-masing dengan jumlah penyusun glukosa sebanyak 6, 7, dan 8 unit.  Kompleks inklusi antara bahan obat sukar larut air (guest) dengan senyawa siklodekstrin (host) dapat terbentuk ketika molekul senyawa guest dapat masuk sebagian atau seluruhnya ke dalam rongga siklodekstrin. Kompleks inklusi yang terbentuk distabilkan oleh beberapa gaya antarmolekul seperti interaksi hidrofobik, gaya van der Waals, dan ikatan hidrogen, dan oleh karenanya kompleks yang terbentuk bersifat reversible.

Senyawa kompleks yang terbentuk akan mengalami disosiasi menghasilkan obat bebas dan bahan pembentuk kompleks secara berkesinambungan, tetapi dalam waktu yang sangat singkat akan diimbangi peristiwa asosiasi molekul obat bebas dan bahan pembentuk kompleks. Kemampuan suatu molekul untuk berasosiasi dan berdisosiasi mencapai kesetimbangan dapat dilihat dari nilai  tetapan stabilitas pembentukan kompleks (K). Nilai K berkaitan langsung dengan nilai energi bebas (ΔG) pembentukan kompleks. Nilai  K juga dipengaruhi oleh pH dan suhu lingkungan.  

Pada penelitian ini digunakan  β-siklodekstrin (βCD) yaitu jenis siklodeksrin yang banyak digunakan dalam pembentukan kompleks inklusi bagi senyawa yang memiliki gugus aromatik seperti APMS. β-siklodekstrin memiliki beberapa turunan senyawa di antaranya hidroksipropil-β-siklodekstrin (HPβCD) yang memiliki ukuran rongga sama seperti β namun dengan adanya substitusi parsial gugus hidroksipropil mengakibatkan kelarutan HPβCD dalam air lebih besar daripada senyawa βCD.

Pembentukan kompleks inklusi APMS dengan senyawa βCD atau HPβCD  dideteksi dengan terjadinya peningkatan kelarutan APMS dalam rentang konsentrasi siklodekstrin yang semakin meningkat. Kurva kelarutan APMS dalam berbagai konsentrasi larutan βCD membentuk kurva Bs mengindikasikan telah terjadi peningkatan kelarutan APMS sejalan dengan peningkatan konsentrasi βCD tetapi pada konsentrasi βCD tertentu diperoleh kelarutan APMS konstan bahkan cenderung turun. Hal ini disebabkan karena kelarutan βCD terbatas dalam air, sehingga pada konsentrasi tertentu terjadi pengendapan kompleks inklusi. Sementara itu kurva kelarutan APMS dalam berbagai konsentrasi HPβCD diperoleh kurva bertipe AL mengindikasikan  kelarutan APMS meningkat seiring peningkatan konsentrasi HPβCD. Adanya substitusi gugus hidroksipropil menggantikan gugus hidroksi pada HPβCD memberikan afinitas APMS terhadap senyawa HPβCD lebih kuat daripada dengan βCD, hal ini ditunjukkan oleh nilai K.

Kelarutan APMS dalam larutan βCD ataupun HPβCD pada pH 4,0 dan 7,0 menunjukkan nilai K yang semakin kecil dengan semakin meningkatnya pH. APMS merupakan senyawa asam lemah dengan nilai pKa 4,04, yang kelarutannya dipengaruhi oleh pH lingkungan. Pada pH 7,0 hampir sebagian besar APMS berada dalam bentuk terion, sehingga interaksi APMS  dengan bagian dalam siklodekstrin menjadi lemah. Hal itu menyebabkan nilai tetapan stabilitas pembentukan  kompleksnya (K) menurun. Peningkatan suhu media (32, 37 dan 42 ±0,5 °C) mengakibatkan terjadinya disosiasi kompleks yang terbentuk sehingga  nilai K semakin menurun.

Dari data kelarutan pada berbagai suhu percobaan dapat dihitung parameter termodinamika yang meliputi  nilai entalpi (ΔH), energi bebas (ΔG) dan entropinya (ΔS). Dari hasil percobaan baik dengan βCD maupun HPβCD pada dua pH berbeda memberikan nilai entalpi (∆H) dengan tanda negatif yang menunjukkan bahwa  proses pelarutan berlangsung secara eksotermik. Nilai perubahan energi bebas (∆G) mempunyai tanda  negatif, menunjukkan bahwa proses pembentukan kompleks berlangsung secara spontan. Nilai perubahan entropi (∆S) pada pH 4,0 menghasilkan nilai positif yang menandakan adanya peningkatan ketidakteraturan sistem, sedangkan pada  pH 7,0 menghasilkan nilai negatif yang menunjukkan ketidakteraturan sistem yang lebih rendah.

Peningkatan kelarutan APMS dengan adanya senyawa βCD  maupun HPβCD didukung dengan data termodinamika  pembentukan kompleks inklusi, menunjukkan peluang dalam pengembangan bentuk sediaan senyawa APMS  yang digunakan secara oral. 

Penulis: Dr. apt. Dewi Isadiartuti, M.Si

Link jurnal: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34214343/

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp