Potensi Misdiagnosis COVID-19 dan Demam Berdarah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh venables.co.uk

Pandemi penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) menjadi perhatian kesehatan masyarakat internasional dengan kecepatan transmisi yang signifikan. Human Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) sebagai agen penyebabnya, memiliki sifat baru dan genetika yang berbeda dari enam strain SARS-CoV-2 yang telah dilaporkan sebelumya. SARS-CoV-2  ditemukan pertama kali pada November 2019 di Wuhan, China. Hingga Maret 2020, virus ini telah menyebar ke seluruh dunia dengan total kasus infeksi sebesar 115.289.961 dan kematian sebesar 2.564.560. Kasus COVID-19 pertama di Indonesia dilaporkan pada awal Maret 2020. Sejak saat itu, virus tersebut menyebar dengan cepat. Dalam satu tahun, pemerintah Indonesia melaporkan 1.353.834 kasus positif terkonfirmasi dengan kematian sebesar 36.271. Indonesia adalah negara dengan persentase kasus mortalitas COVID-19 tertinggi di dunia hingga saat ini.

Kemunculan COVID-19 menjadi tantangan serius bagi pemerintah dan tenaga kesehatan masyarakat di negara-negara endemis Demam Berdarah (DBD) termasuk Indonesia. Antara Januari hingga Maret 2020, sekitar 18.000 kasus infeksi dengue dengan 115 kematian tercatat di Indonesia. Fakta bahwa COVID-19 dapat berkamuflase pada fase awal infeksi serta relatif lamanya waktu timbulnya gejala keparahan, akan membuka peluang terhadap kemungkinan kesalahan diagnosa awal sebagai infeksi dengue.

Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara telah melaporkan adanya kasus COVID-19 terselubung sebagai infeksi dengue pada fase awal tahap inkubasi. Thailand mencatat kematian pertama pasien COVID-19 yang dinyatakan salah  terdiagnosa sebagai infeksi virus dengue akibat adanya ruam merah yang juga merupakan salah satu gejala infeksi dengue. Disebutkan pula bahwa terdapat kemiripan karakteristik klinis dan laboratoris antara infeksi dengue dan COVID-19  pada dua kasus di Singapura. Pada diagnosa awal, kedua pasien menunjukkan gejala yang khas infeksi dengue dan memberikan hasil positif terhadap tes serologis dengue (immunoglobulin M), namun kemudian terkonfirmasi positif COVID-19 pada perkembangan selanjutnya. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia (PAPDI) juga melaporkan kasus serupa di Jakarta. Seorang pasien memberikan hasil positif terhadap tes serologis dengue (immunoglobulin M dan immunoglobulin G), namun pasien mengalami perburukan kondisi pada minggu kedua dan didiagnosa COVID-19 setelah pemeriksaan lebih lanjut.

Selain itu juga dilaporkan, tiga kasus suspek koinfeksi dengue COVID-19 juga dilaporkan di rumah sakit Bali dimana pasien memiliki hasil infeksi positif berdasarkan uji serologis dengue yang meliputi antigen virus dengue (DENV) NS1 dan anti-dengue IgM/IgG. . Kondisi mereka semakin memburuk pada minggu kedua, dan penyelidikan lebih lanjut mengungkapkan bahwa juga reaktif terhadap tes antibodi COVID-19. Penelitian ini kemudian menyarankan koinfeksi antara dengue dan COVID-19. Kasus koinfeksi antara arbovirus dan coronavirus di Indonesia dilaporkan pada tahun 2015–2016. Sebuah penelitian menemukan koinfeksi antara virus dengue tipe 3 dan enterovirus d68 pada pasien suspek middle east respiratory syndrome coronavirus (MERS-COV) di Indonesia. Dari Januari hingga November 2020, 95.893 infeksi dengue dengan 661 kematian dilaporkan di Indonesia. Dengan demikian, adanya kemiripan klinis dan laboratoris anatara COVID-19 dan DBD pada masa inkubasi awal, hal ini menjadi kendala untuk membedakan kedua infeksi tersebut yang nantinya menjadi potensi koinfeksi COVID-19 dan virus dengue, serta reaktivitas silang antibodi, dapat memengaruhi manifestasi klinis dan diagnosis. Oleh karena itu, menjadi tantangan baru bagi institusi pelayanan kesehatan untuk menanggulangi COVID-19 di daerah endemis DBD.

Informasi tentang koinfeksi dan reaktivitas silang antibodi antara demam berdarah dan COVID-19 masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian epidemiologis terkait COVID-19 di daerah endemis DBD sangat diperlukan. Penelitian ini menganalisis profil antibodi IgG dan IgM dalam plasma pasien COVID-19 di Surabaya untuk mengidentifikasi kemungkinan koinfeksi dan reaktivitas silang antibodi. Penelitian ini dilakukan di Surabaya yang merupakan kota yang menjadi zona merah,  dimana memiliki jumlah kasus terkonfirmasi positif COVID-19 tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan berkontribusi pada sistem manajemen pasien yang lebih baik terkait COVID-19 di daerah endemis DBD.

Penelitian ini menganalisis profil IgG dan IgM dari pasien COVID-19 dengan menggunakan uji rapid diagnostic test (RDT) serologis SARS-CoV-2 dan DBD. Uji serologis SARS-CoV-2 menggunakan dua jenis RDT yang ada di pasaran dan direkomendasikan oleh PDS PATKLIN yaitu  Vazyme dan UNscience.  Hasil pengujian plasma dari pasien COVID-19 terkonfirmasi menggunakan dua kit serologis COVID-19 yaitu tidak identik tetapi masih relatif sebanding. Ini mungkin karena perbedaan sensitivitas dan spesifisitas kedua metode. Selain itu, perbedaan dalam kompatibilitas sampel dan prinsip-prinsip metode juga mungkin mempengaruhi hasil. Vazyme cocok untuk sampel serum dan plasma, sedangkan UNscience juga dapat digunakan untuk sampel darah utuh. Vazyme memiliki sensitivitas sebesar 91,54% (95% CI: 86,87%, 94,65%) dan spesifisitas sebesar 97,02% (95% CI: 94,74%, 98,33%) menurut manual kit, sedangkan UNscience memiliki sensitivitas klinis sebesar 98,511% (95% CI: 96,788%, 99,452%) dan spesifisitas sebesar 88,208% (95% CI: 83,086%, 92,221%) sesuai dengan manual.

Meskipun semua sampel diambil dari pasien COVID-19, namun tidak semuanya menunjukkan hasil positif antibodi SARS-CoV-2. Jumlah sampel dengan hasil sero-negatif berdasarkan Vazyme dan UNscience berturut-turut adalah 29 dan 22. Hingga saat ini, respon sistem imun dan variasi profil antibodi terhadap COVID-19 masih belum sepenuhnya dipahami. Usia pasien dan komorbiditas mungkin berperan dalam pengembangan antibodi SARS-CoV-2. Sebuah penelitian di China mengungkapkan bahwa serokonversi antibodi SARS-CoV-2 bervariasi di antara pasien. IgG dan IgM dapat muncul secara bersamaan atau berurutan. Serokonversi terjadi dalam 20 hari setelah onset gejala dengan hari ke-13. Menariknya, dua pasien menunjukkan IgG dan IgM negatif selama masa rawat inap . Studi lain di London, Inggris, juga menunjukkan bahwa 2,0-8,5% pasien dengan COVID-19 berat tidak menunjukkan IgG 3-6 minggu setelah infeksi. Ini menunjukkan bahwa infeksi ringan dan usia yang lebih muda memiliki kemungkinan versi serokonversi yang rendah. Sebaliknya, faktor-faktor seperti usia yang lebih tua, ras non-kulit putih, dan hipertensi mungkin berkontribusi pada serokonversi.

Sedangkan hasil uji serologis DENV IgG , IgM, dan NS1 pada pasien COVID-19 terkonfirmasi yaitu 4 dari 120 sampel menunjukkan positif IgG dengue sedangkan uji NS1 dan uji RT-PCR menunjukkan hasil yang negatif. Ada dua kemungkinan yang bisa menjelaskan hasil tersebut. Pertama, keempat pasien ini pernah mengalami infeksi dengue sebelum masuk rumah sakit akibat COVID-19. Oleh karena itu, antibodi tetap bersirkulasi dalam darah meskipun virus telah hilang. Respon antibodi dengue pasca infeksi dapat berlangsung lama. IgM bersirkulasi dalam tubuh hingga 2 hingga 6 bulan, sedangkan IgG bertahan lebih lama, umumnya hingga 6 bulan hingga 2 tahun setelah infeksi primer dengue. Selanjutnya, pada infeksi sekunder, IgG bereaksi lebih awal dengan tingkat yang lebih tinggi dan periode penyebaran yang lebih lama.Namun, analisis IgM, NS1, dan RT-PCR menunjukkan hasil negatif.

Dengan demikian, keberadaan IgG dengue yang lebih tinggi dibandingkan dengan IgM pada penduduk sehat di daerah endemik dengue adalah masuk akal. Satu studi menunjukkan bahwa dari 910 donor dewasa yang sehat di Arab Saudi, 38,9% seropositif terhadap IgG. Penelitian tentang seroprevalensi untuk menilai tingkat positif orang sehat tanpa gejala di Indonesia belum ada data. Oleh karena itu, kami melakukan analisis RDT dengue tambahan untuk sampel sehat dari tahun 2014 (sampel diambil sebelum pandemi COVID-19) yang telah disimpan di laboratorium kami. Hasil menunjukkan dua sampel reaktif terhadap deteksi IgG dengue, yang menunjukkan NS1 positif. Berdasarkan data, penelitian ini menunjukkan angka IgG dengue pada orang sehat di Indonesia adalah 5,26%. Alasan kedua yang mungkin adalah adanya reaktivitas silang antibodi antara COVID-19 dan infeksi dengue dalam sampel. Kondisi ini dapat menjadi kendala yang signifikan, terutama di daerah endemis DBD karena dapat memberikan hasil positif palsu dan kesalahan diagnosis, sehingga menunda pengobatan pasien yang tepat.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di daerah endemis DBD banyak masyarakat yang sudah mengalami DBD dan memiliki kekebalan terhadap virus DBD. Ada juga kemungkinan reaktivitas silang antibodi antara COVID-19 dan infeksi dengue. Sehingga dapat disimpulkan penggunaan RDT serologis untuk menentukan COVID-19 atau infeksi dengue dapat menyebabkan potensi kesalahan diagnosis, sedangkan gold standart untuk deteksi COVID-19 adalah Real-Time PCR. Namun, penggunaan RDT serologis untuk infeksi dengue sangat populer karena kesederhanaan dan keterjangkauannya terutama di negara berkembang. Dengan demikian, IgG/IgM RDT tidak dapat digunakan dengan sendirinya. Kami merekomendasikan untuk memprioritaskan hasil NS1 untuk deteksi infeksi dengue selama pandemi COVID-19. Idealnya, pasien diperiksa untuk kedua penyakit menggunakan metode berbasis PCR. Secara keseluruhan, temuan ini mengingatkan bahwa perawatan kesehatan di daerah endemik demam berdarah untuk meningkatkan kesadaran dan diagnosis yang akurat. Potensi ko-infeksi juga harus dipertimbangkan untuk mencegah dampak berbahaya pada pasien. Hal ini juga menekankan bahwa metode serologi cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi diperlukan untuk membedakan antara infeksi SARS-CoV-2 dan dengue.

Penulis: Siti Qamariyah Khairunisa, S.Si., M.Si

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.mdpi.com/2036-7449/13/2/50/htm

Khairunisa, SQ, et.al. (2021). Potential Misdiagnosis between COVID-19 and Dengue Infection Using Rapid Serological Tes. Infect. Dis. Rep. 2021, 13(2), 540-551;  Available oline at https://doi.org/10.3390/idr13020050

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp