Nasionalisme dan Solidaritas Global di tengah Pandemi COVID-19

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh viva.co.id

Ditengah pandemic COVID-19 sentimen nasionalisme meningkat daripada sebelumnya seperti rasisme, individualisme negara, nasionalisme vaksin dan lain sebagainya. Namun nasionalisme seperti ini tidak mampu menyelesaikan pandemic COVID-19 sehingga perlu bagi akademisi untuk melihat potensi dari adanya solidaritas global. Hal ini karena adanya COVID-19 sangat berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia dan sangat mengancam perekonomian suatu negara. Adanya pelarangan bepergian, lockdown, ditutupnya tempat public dan hiburan, pembatasan operasi transportasi public dan banyak hal yang berubah dari adanya COVID-19 ini. Selain itu secara global pandemic ini menimbulkan dampak ekonomi yang semakin turun dan bahkan negative, negara-negara juga banyak yang mengalami resesi dan mengakibatkan adanya investasi yang rendah, erosi sumber daya manusia karena banyaknya individu yang kehilangan pekerjaan, adanya pelarangan sekolah tatap muka dan lainnya. Pandemic ini juga sangat berkorelasi dengan peningkatan nasionalisme di mana setiap orang dan negara berfokus pada dirinya sendiri.

COVID-19 dan nasionalisme dalam perspektif teoritis

Nasionalisme sendiri dapat dipahami sebagai ideology di mana seseorang merasa bagian dari suatu grup atau bangsa dibanding dengan bangsa lainnya. Terdapat dua konsep nasionalisme yaitu elemen objektif seperti fisik, etnis, dan karakter territorial di mana sekelompok individu berbagi kesamaan. Kedua yaitu subjektif elemen seperti kepercayaan ideology, kesamaan identitas yang secara imajinatif dikonstruksikan. Terdapat juga dua tingkat nasionalisme yaitu tingkat individu yang mengarah pada sentimen dan aksi pada narasi supra personal untuk membedakan dirinya dengan yang lain, lebih ke arah bottom-up. Kedua yaitu negara yang merupakan kebijakan negara melalui berbagai cara seperti media,bahasa, pendidikan, untuk menciptakan solidaritas nasional. Kedua tingkat nasionalisme ini berinteraksi dengan tiga elemen nasionalisme seperti ide-ide tentang mengapa bangsa itu ada beserta perbedaannya, implikasi kebangsaan termasuk hak dan kewajiban, terakhir yaitu terakit dengan independensi politik dan menentukan nasib sendiri. Alhasil ketika seluruh elemen berinteraksi adapun hasilnya bisa berbentuk radikalisme, eksklusifitas, kekerasan atau hasil yang lebih positif yaitu inklusifitas dan perdamaian.

Namun dalam situasi krisis lahirnya hasil yang negative lebih tinggi untuk dapat dilihat di dalam diri individu atau negara. Sebagai contoh pada saat pandemic COVID-19 baik individu maupun negara berusaha mencari kambing hitam dan menyalahkan orang atau negara lain sebagai penyebab COVID-19. Bahkan Donald Trump mantan presiden AS menyebut bahwa COVID-19 sebagai Chinese virus di mana hal tersebut merupakan ungkapan yang rasis. Hal ini membuat meningkatnya anti Asia sentiment di AS. Tidak hanya itu, para imigran di wilayah lainnya seperti Eropa juga mendapatkan perilaku diskriminasi. Para pejabat pemerintah di Hungaria, Jerman dan Austria mengaitkan persebaran virus ini dengan kehadiran para imigran. Hal ini sejalan dengan Social Identity Theory yang mana adanya krisis dan ketidakpastian dapat mengakibatkan individu memiliki identifikasi yang kuat dengan suatu kelompok atau negara. Di sisi lain, negara juga memiliki control yang kuat pada saat krisis dan mampu menciptakan sentiment nasionalis.

Solidaritas Global dan Kerjasama

Diskusi tentang nasionalisme tidak akan memberikan hasil untuk menyelesaikan pandemi COVID-19. Tidak ada satu negarapun yang kebal terhadap dampak dari COVID-19. Peran negara yang dominan tidak menutup kemungkinan adanya potensi untuk kerjasama. Kesempatan melakukan kolaborasi akan selalu ada. Karena ketika negara berasumsi bahwa pandemic ini adalah zero-sum game di mana harus menang atau kalah, maka semuanya akan gagal. Pandemi ini menunjukkan bahwa bencana tidak memandang batas-batas wilayah. Dalam menghadapi krisis perlu adanya kerjasama internasional yang terbukti berhasil dalam mengatasi permasalahan global. Pandemic ini merupakan pijakan awal bagi solidaritas internasional untuk memperkuat kerjasama terutama membantu negara lain dengan sumber daya yang terbatas. Penting juga untuk melihat bahwa pandemic global juga perlu aksi global dan hal ini juga menggeser pendekatan yang semula sangat state-centric berubah menjadi tata kelola kesehatan secara global. Selain itu juga banyak actor selain negara yang mampu berkontribusi untuk menangani pandemic COVID-19 seperti WHO, Think Tank, organisasi regional dan lain sebagainya. Dalam kerjasama tercatan 77 negara telah melakukan kerjasama internasional sebanyak 1180 kali, 354 kota juga bekerjasama sebanyak 2052 kali dan 1495 institusi telah melakukan kolaborasi sebanyak 7192. Negara harus bekerjasama karena virus COVID-19 membutuhkan kehadiran vaksin yang mampu menanggulangi persebaran virus dan ini harus dapat di akses oleh seluruh negara.

Penulis: Fadhila Inas Pratiwi, MA.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/MKP/article/view/20541

Pratiwi, Fadhila Inas & Tsauro, Ahalla. 2021. Covid-19: Nationalism And Global Solidarities. Jurnal Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 34, No. 3.

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp