Kaji Banding Morfometri Spermatozoa Dua Sapi Asli Indonesia untuk Peningkatan Kualitas Reproduksi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by Merdeka com

Indonesia masih menjadi negara pengimpor komoditas sapi potong karena kebutuhan daging oleh penduduk indonesia belum dapat dipenuhi dari upaya peternakan lokal hewan peliharaan. Diperkirakan dalam 10 tahun mendatang produksi sapi dalam negeri hanya mampu memenuhi setengah dari kebutuhan, sehingga ketergantungan pada impor semakin meningkat, Selain itu jumlah sapi asli Indonesia dari tahun ke tahun terus menurun akibat Jumlah sapi produktif yang telah dipotong tinggi, pemeliharaan ternak masih tradisional, jumlah sapi unggul tidak banyak, usaha budidaya rendah dan jumlah ternak yang keluar dari daerah masih banyak. Akibat dari penurunan populasi sapi di Indonesia yang terus berdampak buruk terhadap berkurangnya jumlah sapi asli Indonesia hingga bisa akan terjadi kepunahan.

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sapi asli antara lain sapi Bali, sapi Madura, sapi Aceh, sapi Sumbawa, sapi Jawa Brebes, sapi Donggala, sapi Pasundan, sapi Rambon dan sapi Pesisir. Sapi Pesisir di daerah Sumatera Barat dan merupakan sapi asli yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 2908 / Kpts / Ot.140 / 6/2011 tentang Penetapan rumpun kawasan Sapi Pesisir yang mempunyai bentuk dan ukuran tubuh yang khas, oleh karena itu dimasukkan ke dalam salah satu sumberdaya genetik asli Indonesia yang perlu dilindungi. Sapi Rambon merupakan sapi asli yang banyak berkembang di Kabupaten Banyuwangi khususnya Kecamatan Glagah sebagai salah satu sapi jantan asli di Indonesia. Sapi Rambon merupakan hasil persilangan Sapi Bali, Sapi Ongole dan Sapi Madura. Ada beberapa jenis Rambon Sapi seperti Rambon Jawa, Rambon Manis, Rambon Keling dan Rambon Tes.

Upaya peningkatan populasi sapi asli Indonesia yang dapat dilakukan adalah dengan penerapan teknologi reproduksi seperti Inseminasi Buatan (AI). Inseminasi Buatan dapat menjadi teknologi yang sangat efektif dalam meningkatkan produksi ternak dan keuntungan pada suatu ternak. Inseminasi buatan akan berhasil jika kualitas semen yang digunakan semen beku diamati baik secara makroskopik maupun mikroskopis. Kualitas semen secara makroskopis dapat diamati melalui volume, bau, pH, warna, dan konsistensi. Secara mikroskopis dapat diamati melalui pergerakan massa, pergerakan individu, viabilitas, kelainan, konsentrasi spermatozoa dan morfologi spermatozoa. Investigasi terhadap struktur dan morfologi spermatozoa menjadi parameter penting dalam memprediksi kesuburan pada hewan. Pengamatan pengukuran morfometri sperma dapat dimanfaatkan untuk melihat morfologi normal tiap bagian spermatozoa dan dapat digunakan untuk pengembangan teknologi sexing kromosom X dan Y dengan melihat morfometri ukuran kepala. Hewan dengan kepala spermatozoa lebih kecil telah ditemukan, ekor lebih panjang dan bagian tengah normal normal menjadi lebih subur. Bagian pengukuran midpiece spermatozoa berguna untuk mengetahui ketersediaan energi di mitokondria sedangkan potongan utama dan end piece berfungsi dalam pergerakan spermatozoa. Morfometrik dapat digunakan untuk penilaian pada semen beku, karena terdapat perbedaan ukuran panjang, lebar, keliling dan luas kepala spermatozoa semen segar dengan semen yang telah dibekukan.

Hasil pengamatan morfometrik spermatozoa pada penelitian ini masih tergolong normal untuk sapi Pesisir dan Rambon, menurut penelitian sebelumnya spermatozoa sapi memiliki panjang kepala 8-10 µm, lebar 4-4,5 µm, midpiece 1,5-2 kali panjang badan. kepala spermatozoa, sedangkan untuk ekor spermatozoa memiliki panjang 35-45 µm, sehingga total panjang spermatozoa mencapai 50-70 µm. Hasil pengukuran morfometri spermatozoa yang berbeda dengan ukuran standar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu metode pewarnaan yang terlalu lama karena sediaan slow dry sehingga terjadi pergeseran ukuran yang intinya tidak terlalu besar. Penggunaan kaca objek dingin dapat menyebabkan perubahan ukuran spermatozoa karena pada saat sediaan spermatozoa mengalami guncangan suhu sehingga terjadi ukuran sebelum fiksasi.

Penulis : Ragil Angga Prastiya, drh., M.Si.

Informasi lengkap tentang riset ini dapat diakses pada artikel di bawah ini:

https://doi.org/10.1063/12.0004327

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp