Mengenal Dasar Hukum Praktik Kefarmasian Bersama BEM FF UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret kegiatan Pharmacopedia jilid dua yang bertajuk “Mengenal Peraturan Perundang-undangan sebagai Dasar Hukum Praktik Kefarmasian”. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Keilmuan bukanlah satu-satunya hal penting yang harus dipegang oleh apoteker saat berpraktik dalam dunia kefarmasian. Ada dua dasar lain yang wajib dipegang teguh oleh apoteker yaitu, etik dan hukum. Hal tersebut sesuai dengan konsep negara Indonesia yang merupakan negara hukum.

Menanggapi isu tersebut, Departemen Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Farmasi Universitas Airlangga (FF UNAIR) menggelar kegiatan Pharmacopedia jilid dua yang bertajuk “Mengenal Peraturan Perundang-undangan sebagai Dasar Hukum Praktik Kefarmasian”. Kegiatan yang dilaksanakan pada Selasa (22/06) melalui platform zoom tersebut, menghadirkan Yusuf Alif Pratama S.Farm., selaku pembicara.

Pada kesempatan tersebut, Yusuf memaparkan tentang dasar-dasar hukum praktik kefarmasian yang berlaku. Sebagai awalan, ia juga menjelaskan tentang hukum secara luas.

“Asas hukum yang biasa didengar itu ada 4 yaitu, Lex superior derogat legi Inferior yang artinya hukum yang tinggi meniadakan hukum yang lebih rendah didasari dengan norma, lex posterior derogat legi priori yang artinya hukum yang baru meniadakan hukum yang lama. Lalu, lex specialis derogat legi generalis memiliki arti hukum yang khusus meniadakan hukum yang umum,”jelas Yusuf.

Lalu, sambungnya, non retroaktif yang salah satu contohnya yaitu, saat seorang artis menggunakan suatu bahan narkotika, tetapi senyawa kimia tersebut belum tercantum dalam peraturan yang berlaku. Hal tersebut membuat artis tersebut tidak dapat dituntut sesuai hukum.

Selanjutnya, Yusuf memaparkan hierarki peraturan perundang-undangan. Semakin ke bawah, peraturan perundang-undangan cakupannya semakin sempit dan khusus.

“Karena cakupannya sempit, hal tersebut membuat RUU Kefarmasian harus ditegakkan. Karena dasar yang dimiliki profesi apoteker hanya sebatas peraturan pemerintah, PP nomor 51 tahun 2009. Sedangkan, profesi lain, seperti dokter dan perawat telah memiliki undang-undang. Kita (apoteker, red) butuh aturan hukum yang lebih kuat,” tuturnya.

Ia juga berbagi cara penafsiran beberapa undang-undang yang berlaku di bidang kesehatan. Khususnya turunan dari UU no 11 tahun 2020 tentang cipta kerja yang membawa beberapa perubahan di bidang kefarmasian.

“Pada PMK nomor 9 tahun 2017 tentang apotek, Resep memiliki definisi permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, atau dokter hewan kepada apoteker. Sementara itu, pada PMK nomor 14 tahun 2021, resep didefinisikan sebagai permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker. Pada UU cipta kerja resep untuk hewan diatur pada pada peraturan permentan,” ucapnya.

Hal tersebut dapat menimbulkan kriminalisasi apoteker karena melayani resep dari dokter hewan yang tidak terdapat pada definisi peraturan terbaru, tambahnya.

Pada akhir, Yusuf kembali menegaskan bahwa RUU Kefarmasian memiliki urgensi untuk disegera disahkan demi melindungi profesi apoteker dalam berpraktik di Indonesia. Apoteker harus terus berjuang meyakinkan pemerintah untuk membahas hal tersebut di prolegnas.(*)

Penulis: Alysa Intan Santika

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp