Keberadaan Spesies Asing di Ekosistem Air Tawar Jawa Timur

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto by WWF Indonesia

Berbagai aktivitas manusia secara alami telah merusak pembagian persebaran ikan air tawar, menyebabkan keterbatasan geografis, yang tidak lagi menjadi penghambat persebaran suatu spesies di perairan. Pemenuhan kebutuhan sumber pangan dan protein menjadi alasan utama pengenalan dan pemindahan suatu spesies tertentu untuk dikembangkan di daerah lain yang dianggap memiliki habitat khas melalui kegiatan budidaya. Selain tujuan tersebut, beberapa pengenalan ikan dilakukan untuk memenuhi hobi, rekreasi serta untuk alasan ekonomi lainnya yang secara umum telah terjadi di banyak negara. Dengan adanya keanekaragaman spesies yang dikenalkan di suatu daerah, pada akhirnya menyebabkan biasnya batas yang merupakan spesies asli dan bukan asli. Hal ini menjadi lebih rumit ketika spesies asing yang dikenalkan dapat beradaptasi dan berkembang sehingga seperti spesies asli, mereka bahkan dianggap tidak merusak lingkungan barunya. Spesies asing, umumnya sangat mirip dengan spesies asli, berpotensi menjadi ikan yang dapat bermanfaat, berbahaya, atau dapat diabaikan. Dari ketiga hal tersebut, ketika spesies asing menimbulkan beberapa dampak negatif, spesies ini hanya dianggap sebagai spesies asing yang berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan atau disebut dengan invasif. Efek-efek tersebut dapat dikategorikan dalam tiga bidang, yaitu secara ekonomi, kesehatan manusia, dan secara ekologis.

Setelah dapat melalui proses adaptasi yang memakan waktu cukup lama, tahap selanjutnya adalah mampu bereproduksi di habitat baru. Tahap ini menunjukkan bahwa tingkat adaptasi telah berlalu, dan spesies tersebut dapat menghasilkan keturunan, meskipun mereka hidup di habitat yang berbeda. Dengan proses reproduksi yang mungkin lebih cepat atau sama dengan spesies asli, memungkinkan spesies non-pribumi mampu menggantikan keanekaragaman spesies pribumi di alam. Dan, pada tahap terakhir dalam proses ini, spesies non-pribumi siap mendominasi suatu ekosistem dan dapat menggeser kelimpahan spesies asli. Karakteristik spesies invasif termasuk unggul dalam variabilitas genetik, singkat pada waktu reproduksi, mekanisme alami untuk penyebaran cepat, komensal dengan manusia, dan perekrutan lanjutan. Dengan karakteristik tersebut, dimungkinkan untuk mendominasi dalam waktu singkat. Pada tahap ini pengendalian spesies invasif menjadi sangat mahal dan sangat sulit karena telah banyak mengambil peran di habitat tersebut yang dapat menjadi sumber protein hewani bagi manusia atau memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai ikan hias. Beberapa metode melakukan reduksi bertahap dengan melakukan pondasi genetik yang menghasilkan spesies steril (triploid). Spesies ini diharapkan dapat mengurangi proporsi jantan dan betina di alam dan mengurangi pertumbuhan populasi. Individu yang tidak subur ini disebut sebagai Trojan Y.

Introduksi Ikan di  Indonesia

Keberadaan ikan introduksi di Indonesia telah menjadi tuntutan yang difasilitasi oleh pemerintah dalam pengembangan budidaya perikanan yang dilakukan sebelum tahun 1900-an. Ikan introduksi yang cukup dikenal masyarakat Indonesia adalah ikan mujair (Oreochromis mossambicus) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Kedua spesies ikan cichlid ini memiliki daya adaptasi yang tinggi dan dapat berkembang biak dengan siklus yang cukup pendek sehingga dalam waktu singkat populasi spesies ini di alam cukup tinggi. Di Filipina, kedua spesies ini juga dilaporkan menjadi ancaman untuk menggusur spesies asli, misalnya terhadap ikan belanak (Mugil cephalus) dan bandeng (Chanos chanos) yang mulai menurun di habitat aslinya dengan diperkenalkannya spesies introduksi ini.

Introduksi yang pernah dilakukan di Indonesia lebih diarahkan pada peningkatan jumlah produksi dan pemenuhan protein hewani dari hasil peningkatan produksi kegiatan budidaya. Hampir semua jenis ikan yang diintroduksikan sebagian besar merupakan ikan konsumsi, sedangkan hanya sebagian kecil ikan hias seperti Guppy (Poecilia reticulate) dan Goldfish (Carassius auratus). Dari daftar tersebut, tidak semua jenis ikan introduksi berhasil dalam kegiatan budidaya. Banyak spesies seperti Cyprinus carpio, Osteochilus hasseltii, Channa striata, Osphronemus gouramy, Clarias gariepinus, Helostoma temminckii, dan Oreochromis niloticus telah berhasil dibudidayakan. Ikan ini memiliki daya adaptasi yang cukup baik sehingga menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi bahkan hingga saat ini menjadi ikan yang umum di Indonesia. Sedangkan jenis ikan introduksi lainnya yang tidak mampu beradaptasi adalah salmon dan rainbow trout. Kedua ikan ini tidak menunjukkan adaptasi yang baik di lingkungan tropis Indonesia (Papua) yang berbeda nyata dengan habitat aslinya di Belanda. Namun di Papua dilaporkan memiliki jenis ikan air tawar endemik yang cukup tinggi, yang harus dipelihara dengan plasma nutfah.

Introduksi Ikan di Jawa Timur

Pada pertengahan tahun 2018, Arapaima gigas tertangkap di perairan Sungai Brantas, Sidoarjo, Jawa Timur. Berbagai media massa memberitakan introduksi ikan ini ditemukan warga di Sungai Brantas. Penemuan ini merupakan indikasi kecerobohan dan tidak adanya penegakan hukum yang transparan terhadap para pelaku yang melepaskan spesies asing di perairan umum di Indonesia. Spesies ini telah diperkenalkan sejak lama dan sangat berpeluang menjadi spesies invasif, bahkan dilaporkan masuk ke Cina, Filipina, Singapura, Thailand, Kuba, Bolivia, dan Meksiko sebagai ikan hias. Kajian keberadaan ikan Arapaima gigas di sepanjang Sungai Brantas belum dilakukan seluruhnya, dan laporan pertama hanya menangkap tiga spesies dewasa Arapaima gigas dari wilayah Sungai Brantas di Sidoarjo.

Meski hanya Arapaima gigas yang menjadi perhatian, di Provinsi Jawa Timur juga memiliki beberapa ikan introduksi. Sejumlah ikan introduksi ini bahkan menjadi komoditas unggulan dan menjadi sumber pangan masyarakat. Mengacu pada potensi perikanan air tawar di Jawa Timur, nilai produksi perikanan secara umum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kegiatan ekonomi daerah. Dari laporan statistik Jawa Timur tahun 2020, budidaya di tambak mampu menghasilkan 262.620,94 ton dengan nilai Rp. 4,4 triliun. Selain dalam bentuk tambak, budidaya perikanan di Jawa Timur juga dikembangkan di media lain seperti sistem mina padi, keramba, keramba apung, dan kolam ikan payau.

Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Timur telah melaporkan 17 jenis ikan introduksi yang dikembangkan sebagai sumber protein hewani. Pertama, untuk ikan air tawar terdiri dari ikan mas (Cyprinus carpio) paling mendominasi, disusul ikan nila (Oreochromis niloticus), Mujahir (Oreochromis mossambicus), Guoramy (Osphronemus goramy), Tawes (Barbonymus gonionotus), lele, belut (Anguilliform sp.), dua -spot gurami (Trichogaster sp.), bawal air tawar, dan ikan kepala ular (Channa striata). Spesies air payau adalah udang vanamae,Litopenaeus vannamei; udang windu, Penaeus monodon dan bandeng, Chanos chanos. Selain jenis ikan non-asli tersebut, beberapa jenis ikan juga telah diintroduksikan sebagai ikan hias yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Jawa Timur. Berbagai jenis ikan hias yang menjadi komoditas andalan perikanan di Jawa Timur.

Penulis: Dr. Eng. Sapto Andriyono

Tulisan lengkap dapat ditemukan pada link :

Andriyono, S., & Fitrani, M. (2021). Non-native species existence and its potency to be invasive species on freshwater ecosystem in East Java Province, Indonesia. Egyptian Journal of Aquatic Biology and Fisheries25(2), 1013-1024. DOI: 10.21608/EJABF.2021.170621

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp