Bedakan Endometriosis dan Dismenore

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto oleh Seruni.id

Endometriosis merupakan suatu gangguan pertumbuhan kelenjar endometrium dan stroma di luar uterus (ektopik), yang sering ditemukan pada ovarium, peritonium, panggul, dan septum retrovaginal (Burney & Giudice, 2012). Endometriosis umumnya dialami oleh wanita di usia reproduksinya hal ini ini terkait dengan peran hormon estrogen dalam patofisiologi endometriosis, usia reproduksi wanita menurut Kementerian kesehatan Republik Indonesia (2018) berada pada rentang usia 15-49 tahun. Diperkirakan endometriosis dialami oleh wanita secara umum berkisar 6-10% (Giudice & Kao, 2004).

Endometriosis menimbulkan dampak cukup signifikan terhadap kualitas hidup, diketahui penderita endometriosis kehilangan rata-rata 10,8 jam waktu bekerja setiap minggunya dikarenakan penurunan efektifitas dan produktifitas diri (Nnoaham et al., 2011). Berdasarkan penelitian Simoens et al. (2012) yang dilakukan pada 12 rumah sakit rujukan di 10 negara menyatakan bahwa beban ekonomi yang dihasilkan terkait endometriosis hampir sama dengan penyakit kronis seperti diabetes, rheumatoid arthritis, dan penyakit crohn, hal ini dikaitkan oleh karena hilangnya produktifitas diri dan penurunan kualitas hidup penderita endometriosis.

Gejala endometriosis dapat berupa nyeri haid (dismenore), nyeri saat senggama (dispareunia), nyeri saat buang air kecil (disuria), nyeri buang air besar (disezia), hingga infertilitas. Dismenore merupakan gejala yang sering dialami oleh banyak wanita selama periode menstruasi, hal inilah yang menjadikan dismenore sering selalu diartikan sebagai suatu hal yang biasa dan cenderung diabaikan, dismenore sendiri dibagi menjadi dismenore primer dan sekunder. Dismenore sekunder merupakan dismenore abnormal yang terjadi oleh karena terdapat kelainan ginekologis yang mendasari, dan salah satu penyebab tersering dismenore sekunder adalah endometriosis (Sachedina & Todd, 2020). Jadi dismenore dan endometriosis berbeda. Dismenore adalah salah satu gejala dari Endometriosis itu sendiri.

Hasil dari beberapa penelitian di atas semua menunjukkan hasil yang sama yaitu responden terdiagnosis pada usia reproduksinya. Hal ini terkait dengan peran hormon estrogen (estrogen dependent) dalam patofisiologi endometriosis (Kitawaki et al., 2002). Endometriosis pada usia menopause diketahui jarang terjadi, tetapi pada wanita menopause yang mempunyai riwayat endometriosis mempunyai risiko untuk mengalami kanker ovarium terkait endometriosis (Matalliotakis et al., 2019). Sehingga pemantauan ke depannya tetap diperlukan walaupun sudah memasuki usia menopause.

Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Supriyadi et al. (2017) yang menyatakan bahwa mayoritas pasien yang terdiagnosis endometriosis ternyata sudah merasakan gejalanya pertama kali saat remaja, tetapi dikarenakan keluhan utamanya adalah dismenore banyak yang mengabaikan hal ini sejak awal. Perilaku penundaan dalam mencari pelayanan kesehatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor salah satunya karena kualitas informasi kesehatan yang kurang baik dan sikap membiasakan gejala yang dirasakan (Rahman et al., 2017). Terdapat penelitian yang menjabarkan penyebab endometriosis sering mengalami keterlambatan dalam diagnosisnya yaitu yang pertama dikarenakan gejala yang dirasakan sering tumpang tindih terhadap penyakit lain dan hingga saat ini masih kurangnya metode non operatif untuk diagnosis definitif endometriosis, kedua karena pasien sering mengira bahwa nyeri yang dirasa masih normal hal ini dipengaruhi oleh daya tahan pasien dan strategi koping individu, dan yang ketiga faktor yang berkaitan dengan kurangnya kesadaran atau pengetahuan dokter (Weintraub, 2016). Endometriosis juga terkadang dapat bersifat asimptomatis pada beberapa wanita sehingga hal ini dapat pula mempengaruhi lamanya jeda diagnosis.

Jadi mulai sekarang pastikan apakah nyeri haid yang dialami merupakan nyeri haid yang masih dalam batas normal atau telah memasuki tahap yang perlu diperiksakan lebih lanjut ke dokter. Sedari sekarang bisa mulai dirutinkan check-up secara berkala terkait organ kewanitaan, jangan sampai menunggu munculnya suatu gejala / kondisi yang serius. Banyak pilihan check-up yang bisa dipilih mulai dari di fasilitas kesehatan tingkat pertama hingga fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Mulai dari IVA, Pap Smear dan pemeriksaan yang lainnya. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi?

Penulis: Dr. Gadis Meinar Sari, dr., M.Kes.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care/article/view/2064

Ariviani, Fauiziah,. Annas, Jimmy Yanuar., & Sari, Meinar Gadis (2021). Karakteristik Dismenore pada Pasien Endometriosis di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Care:Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan, 9(1), 50-64https://doi.org/10.33366/jc.v9i1.2064

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp