Strategi Facebook Atasi Disinformasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Seminar Nasional FTMM 2021: Strengthening Cyber Security Toward Indonesia 5.0 Society FTMM UNAIR. (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Keamanan siber menjadi salah satu hal yang semakin mendapat perhatian di tengah era disrupsi. Isu inilah yang mendorong Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga (UNAIR) mengundang Head of Public Policy at Facebook Indonesia dan Timor Leste Ruben Hattari pada Sabtu (19/6/2021).

Bukan menjadi rahasia lagi jika platform media sosial Facebook memiliki ratusan juta pengguna di Indonesia. Hal inilah yang membuat Facebook menjadi salah satu media tersebarnya misinformasi seperti hoax, teori konspirasi, cybers attack, maupun berbagai masalah keamanan siber lain yang merugikan.

Merespon masalah itu, Ruben mengungkapkan bahwa Facebook sebenarnya telah memiliki enam prinsip pedoman yakni suara, keaslian, keamanan, privasi, dan integritas.

“Tiap tahunnya prinsip ini terus berevolusi. Kami berusaha melarang user memakai fake profile serta menjaga privasi dari user itu sendiri. Harapannya tentu agar user Facebook dapat berekspresi dengan aman dan bijak,” jelasnya dalam Seminar Nasional FTMM 2021: Strengthening Cyber Security Toward Indonesia 5.0 Society.

Ruben juga mengungkapkan bahwa sejak Maret 2020, Facebook telah menghapus setidaknya 18 juta konten misinformasi tentang Covid-19. Hal ini menjadi perhatian besar karena sejak pandemi, muncul banyak misinformasi yang berpotensi merugikan bahkan mengancam keselamatan fisik.

“Saat awal pandemi lalu misalnya, muncul hoax yang mengatakan detergen bisa menjadi obat Covid-19. Hal ini kalau dibiarkan bisa mengancam keselamatan masyarakat yang mempercayai hoax tersebut,” imbuhnya.

Oleh karena itu, Facebook menerapkan tiga langkah pemberantasan disinformasi melalui strategi menghapus, mengurangi, dan memberitahu. Pertama, misinformasi seperti deep fakes, jaringan konspirasi, hingga berbagai konten berbahaya lain akan berusaha dihapus oleh machine learning maupun tim pengecek fakta.

Tim pengecek fakta yang bekerja secara independen tersebut umumnya dibutuhkan apabila konten sulit diidentifikasi sebagai misinformasi atau bukan. Di wilayah Asia Pasifik sendiri, Facebook memiliki 14 pengecek fakta, di mana 8 di antaranya berada di Indonesia.

“Selain itu, Facebook juga melakukan on app intervention dengan memberikan penanda pada konten misinformasi. Sehingga saat ada user yang ingin membagikan, kita akan memberikan notifikasi tertentu,” terangnya.

Pada sisi lain, untuk menangkal misinformasi Facebook juga berusaha bekerja sama dengan pengecek fakta pihak ketiga seperti lembaga pemerintah, Tirto, Tempo, atau Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo).

Dalam situasi pandemi pun, Facebook Indonesia juga terus melakukan edukasi literasi digital melalui program Facebook Asah Digital. Dirilis sejak 3,5 tahun lalu, website tersebut memberikan informasi terkait konten hoax hinggalangkah menjaga privasi bagi masyarakat. (*)

Penulis: Intang Arifia

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp