ICEL Memaparkan Regresi Komitmen Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Perubahan Iklim

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Marsya M. Handayani (kanan) saat akan memaparkan materinya, ditemani oleh moderator acara Rahardian Satya (kiri). (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Pengrusakan lingkungan dan ekosistemnya secara masif, atau ekosida, telah diperjuangkan oleh para pejuang lingkungan untuk diberi pengakuan sebagai kejahatan kelima dalam Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini dikarenakan bahwa ancaman nyata dari krisis perubahan iklim semakin terlihat tanda-tandanya. Sebab, tindakan-tindakan yang dapat memperparah pemanasan global seperti deforestasi, eksploitasi penambangan, dan amplifikasi penggunaan energi tidak terbarukan, juga termasuk bentuk dari kejahatan ekosida.

Komunitas internasional telah pernah menyatukan komitmen bersama pada tahun 2016 dalam menekan pemanasan global dalam bentuk perjanjian internasional, yakni Paris Agreement. Targetnya adalah menekan tingkat kenaikan temperatur global hingga hanya 1,5°C pada tahun 2100. Indonesia juga merupakan salah satu negara pihak dalam perjanjian tersebut.

Inilah yang melatarbelakangi materi dari Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Marsya M. Handayani. Marsya meninjau bahwa komitmen Indonesia dalam menekan peningkatan temperatur global mengalami regresi atas nama deregulasi dan kemudahan investasi. Hal tersebut merefleksikan bahwa pada 2021, Indonesia tidak akan mengajukan target yang lebih ambisius dalam menekan perubahan iklim untuk memenuhi kewajiban Paris Agreement. 

“Padahal nihilnya komitmen masif tersebut dapat menyebabkan krisis global dalam jangka panjang karena temperatur global akan dapat naik hingga 4°C. Zona panas, melelehnya kutub utara dan kutub selatan hingga menyebabkan air laut naik, dan masih banyak lagi,” tutur alumni Lancaster University itu.

Regresi itu dapat ditinjau dari arah undang-undang dan kebijakan yang digolkan oleh pemerintah Indonesia. Contoh yang dipaparkan Marsya adalah sektor lingkungan dari UU Cipta Kerja, dimana produk hukum tersebut merevisi beberapa ketentuan UU PPLH yakni: izin lingkungan diganti menjadi persetujuan lingkungan, pembatasan partisipasi publik, dan amplifikasi pengawasan dan sanksi administrasi daripada sanksi pidana.

“Deregulasi dalam pemberian izin dan sanksi untuk mendirikan suatu kegiatan usaha yang berpotensi mengganggu atau bahkan merusak keseimbangan lingkungan, adalah suatu bentuk regresi dalam komitmen perlindungan lingkungan hidup. Tak hanya itu, semakin dibatasinya ruang publik dalam pengeluaran persetujuan dari pihak Pemerintah berarti bahwa ruang kesewenang-wenangan untuk tindakan korporasi yang dapat merugikan kesehatan dan kemaslahatan manusia di sekitarnya, semakin terbuka lebar,” ujar pakar Hukum Lingkungan itu.

Marsya merefleksikan bahwa komitmen serius dalam penanganan krisis iklim harus diejawantahkan dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang strict. Amplifikasi pengawasan yang dibebankan terhadap Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) juga harus disertai pada peningkatan jumlah serta kualitas dari SDM-nya, karena apabila tidak, perusahaan akan mendapatkan karpet merah dalam memanfaatkan lingkungan dengan seenaknya.

Materi Marsya M. Handayani itu disampaikan dalam kegiatan National Legal Discussion yang digelar oleh ALSA LC UNAIR pada Sabtu pagi (5/6/2021) dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup. Acara tersebut mengundang tiga narasumber lainnya, salah satunya adalah Dekan FH UNAIR Iman Prihandono.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp