Dekan FH UNAIR Paparkan Perspektif Bisnis dan HAM terhadap Isu Lingkungan Global

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Iman Prihandono (kanan) saat akan memaparkan materinya, ditemani oleh moderator acara Rahardian Satya (kiri). (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Dekan FH UNAIR Iman Prihandono Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., diundang sebagai narasumber dalam National Legal Discussion, suatu kegiatan yang digelar oleh ALSA LC UNAIR dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup pada Sabtu siang (5/6/2021). Tema akbar dari kegiatan tersebut adalah ekosida dan bingkai hukum kedepannya untuk mengeradikasi kejahatan ekosida tersebut.

Sebagai seorang pakar Bisnis dan HAM, Iman memaparkan isu lingkungan hidup berdasarkan kacamata nomenklatur tersebut. Iman berkata bahwa kerusakan lingkungan yang ada di dunia seringkali daripada tidak, pasti berkaitan dengan tindakan korporasi. Ia menambahkan bahwa industri-industri ekstraktif tersebut tak hanya melakukan tindakan degradasi lingkungan saja, tetapi juga bentuk pelanggaran HAM lainnya seperti perpindahan tempat tinggal tanpa kompensasi yang layak, pekerja paksa, kekerasan berbasis gender, pelanggaran kebebasan berekspresi, dan juga extrajudicial killing aparat keamanan yang kongkalikong dengan perusahaan korup.

“Isu tersebut akan semakin teramplifikasi seiring industri energi bertransisi menuju energi terbarukan. Hal ini tercermin dalam riset BHRRC yang mengatakan bahwa terdapat 197 tuduhan pelanggaran HAM terhadap proyek yang bertalian dengan energi terbarukan,” ujar alumni Macquarie University itu.

Pertambangan tetap menjadi proyek utama dalam transisi menuju energi terbarukan tersebut. Permintaan bahan baku yang digunakan untuk baterai meroket, seperti lithium, kobalt, nikel, dan perunggu. Iman menyayangkan bahwa transisi tersebut juga berarti kontinuasi dari saratnya pelanggaran HAM yang terjadi akibat penambangan energi tak terbarukan, seperti minyak dan batu bara.

“Norma-norma dari Bisnis dan HAM mengacu pada instrumen yakniUnited Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Sekalipun instrumen ini tidak mengikat secara hukum, tetapi telah terdapat beberapa negara yang telah menjadikan instrumen ini sebagai referensi dalam hukum nasionalnya,” tutur Iman.

Ia mencontohkan terhadap kasus Milieudefinsie et al. v. Royal Dutch Shell plc. di Belanda. Putusan pengadilan setempat mewajibkan korporasi RDS untuk mengurangi semua bentuk emisi yang dihasilkan oleh semua perusahaan Shell Group baik langsung (dari produsen), maupun tidak langsung (dari konsumen) sebanyak 45% pada 2030, dan 100% pada 2050. Iman menambahkan bahwa putusan tersebut juga mengacu pada norma duty of care yang tercermin dalam UNGPs.

“Hal ini menjadi menarik karena RDS merupakan perusahaan minyak, bagaimana kita mewajibkan perusahaan minyak untuk tidak melakukan pembuangan emisi? Putusan tersebut merupakan salah satu bentuk komitmen yang sangat tegas dalam rangka penekanan pemanasan global dalam rangka kewajiban korporasi,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp