YLBHI: Instrumen Hukum Kekerasan Seksual Perlu Dipertegas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi kekerasan seksual (foto: merdeka.com)

UNAIR NEWS – Isu kekerasan seksual merupakan hal yang cukup banyak disorot akhir-akhir ini. Terlebih dengan munculnya kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu pondok pesantren yang berlokasi di Jombang, Jawa Timur. Hal itulah melatarbelakangi BEM UNAIR untuk menggelar diskusi kolaborasi guna mengurai sengkarut kasus tersebut, pada Sabtu (29/02/2021).

Kronologi Pelaporan Kasus Kekerasan Seksual

Yaritza Mutiraraningtyas, S.H selaku pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya memaparkan bahwa kasus tersebut (kekerasan seksual, Red) melibatkan anak kyai pemilik pondok sebagai tersangka dan santriwati sebagai korban. Novita Sari, pihak Women Crisis Center (WCC) Jombang sekaligus pendamping korban menambahkan bahwa modusnya yakni keperluan transfer ilmu dari pelaku.

Kejadian tersebut bermula sejak 2017 dan dilaporkan ke Kepolisian Resort (Polres) Jombang. Setelah satu tahun proses pelaporan, korban mencabut laporannya. Alasannya yakni korban diberi bantuan keuangan dari pelaku dan ingin menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan.

Pelaporan kembali terjadi di tahun 2019 karena kejadian tersebut terulang kembali. Proses penyidikan kemudian beralih ke Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim).

Proses tersebut kemudian menimbulkan kejanggalan. Penanganan dilakukan oleh Kepala Unit Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Kanit KDRT) karena penunjukan langsung dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum). “Padahal korban dan tersangka bukanlah pasangan suami dan istri, sehingga yang lebih berwenang menangani adalah Kanit Kejahatan Asusila atau Kanit Anak dan Remaja,” ujar Yaritza.

Hingga Bulan Mei tahun 2021, kasus tersebut belum sampai ke kejaksaan karena kepolisian berkali-kali mengembalikan berkas laporan. Hal itu karena tuntutan visum yang harus dijalani korban, untuk ketiga kalinya. “Tidak baik melakukan visum sampai tiga kali dan alat bukti juga bisa melalui bukti petunjuk dan bukti ahli,” terang Yaritza.

Sementara itu menurut Kombes Totok Suharyanto, SIK., M. Hum selaku Dirreskrimum Polda Jatim menuturkan bahwa kasus tersebut menemui banyak hambatan. Kejadian dan pelaporan berada dalam selisih waktu yang cukup lama sehingga menyulitkan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan visum. Selain itu pihaknya juga kesulitan mencari barang bukti berupa gawai yang merekam pembicaraan tersangka dengan korban.

Angka Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pondok Pesantren

Menilik data yang disajikan oleh Siti Aminah, S.H selaku komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, sepanjang tahun 2015 sampai 2020 tercatat 51 kasus kekerasan seksual dan 19% di antaranya terjadi di pondok pesantren. Namun, data tersebut tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya, karena pada beberapa kasus juga tidak dilaporkan ke Komnas Perempuan.

Berdasarkan data tersebut, 19% di antaranya terjadi di lingkungan pondok pesantren. Biasanya pelaku adalah orang yang berpengaruh dalam pesantren tersebut.

Fakta tersebut dapat dipengaruhi oleh adanya relasi kuasa. Hal itu berarti yang memungkinkan adanya tindakan semena-mena dari orang yang berkuasa, termasuk pelecehan seksual.

Devi Rerniarsih selaku Koordinator Isu Perempuan, Ibu, dan Anak BEM seluruh Indonesia (SI) Kerakyatan menuturkan bahwa kuasa tersebut tercermin dalam pengetahuan. Sama halnya dengan kasus kekerasan seksual tersebut yang melibatkan pengetahuan mengenai suatu ilmu dan  memindahkannya kepada santriwati.

Desakan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)

Meninjau dari simpang-siurnya proses peradilan dalam kasus kekerasan seksual, terdapat beberapa rekomendasi yang mendesak. Menurut Era Purnamasari selaku Wakil Ketua Advokasi YLBHI, instrumen hukum kekerasan seksual perlu dipertegas.

Perlu juga adanya evaluasi yang melibatkan Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Selain itu, kepastian bahwa pengacara atau pendamping korban dapat turut mengawal proses peradilan juga menjadi hal yang mendesak.

Selain itu,sebagai lembaga mahasiswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, disampaikan oleh Muhammad Abdul Chaq selaku presiden BEM UNAIR bahwa pihaknya berkomitmen untuk mengawal kasus-kasus serupa. Tidak hanya yang terjadi di lingkup UNAIR, namun juga di tingkat regional dan nasional. “Selama nilai kemanusiaan tidak dijunjung, maka kami akan selalu dan terus merasa tersinggung,” pungkas mahasiswa Ilmu Sejarah tersebut.

Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp