Revisi UU Cipta Kerja di Sektor Lingkungan Demi Efisiensi Pemberian Sanksi Tindak Pidana Korporasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Drs. Dasrul Chaniago, M.M., M.E., M.H., (kanan) saat akan memaparkan materinya, ditemani oleh moderator acara Rahardian Satya (kiri). (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Hari Lingkungan Hidup tahun ini disemarakkan oleh ALSA LC UNAIR dengan membahas terkait kejahatan korporasi dan ekosida dalam ALSA National Legal Discussion pada Sabtu pagi (5/6/2021). Terdapat empat narasumber yang dihadirkan pada perhelatan tersebut, salah satunya adalah Drs. Dasrul Chaniago, M.M., M.E., M.H., perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (KLHK RI) yang menjabat sebagai Direktur Pengendalian Pencemaran Udara.

Chaniago hadir untuk memberikan pemaparan regulasi terkait tindak pidana korporasi terhadap perusakan lingkungan melalui koridor dua instrumen hukum yang berlaku, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

“Penegakan hukum lingkungan secara represif di Indonesia dapat ditempuh melalui tiga cara, ditempuh secara administratif, keperdataan, dan pidana. Bentuk sanksinya tentu berbeda pula, sanksi administrasi berupa tindakan pemerintah seperti pencabutan izin, sanksi perdata berupa ganti rugi, dan sanksi pidana berupa penjara dan denda,” ujarnya.

Alumni ITB itu bertutur bahwa ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan dan persetujuan lingkungan diawasi Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) yang diangkat oleh Pemerintah Daerah setempat. Oleh karena itu, apabila ada pelanggaran terkait dua hal tersebut maka PPLH dapat memberikan sanksi administratif. Apabila terkait sanksi perdata, maka orang atau suatu kelompok dapat mengajukan gugatan terhadap korporasi melakukan pencemaran lingkungan.

Kemudian Chaniago menceritakan terkait sanksi pidana, yang sendirinya itu dibagi menjadi sanksi pidana formil dan materiil. Pidana formil adalah tindakan pidana yang melanggar ketentuan prosedural dalam tindakan pencegahan dan pelindungan lingkungan.

“Jadi apabila korporasi tidak memiliki amdal atau izin pembuangan limbah dalam melakukan kegiatan usahanya, mereka telah melanggar ketentuan pidana formil menurut UU PPLH yang lama,” tutur representasi KLHK RI itu.

Untuk tindak pidana materiil dalam hukum lingkungan, korporasi melakukan suatu tindak pidana yang menyebabkan kerugian nyata dalam pencemaran atau perusakan lingkungan, seperti pencemaran air sungai. Begitulah ketentuan dalam UU PPLH yang kemudian mendapatkan revisi dalam UU Cipta Kerja menurut Chaniago.

Revisi tersebut terletak pada sanksi pidana formil, yang kemudian diubah menjadi sanksi administrasi. Chaniago bertutur bahwa revisi ini digunakan dalam rangka semangat deregulasi demi kemudahan usaha dalam UU Cipta Kerja. Hal ini dikarenakan menurut pendek katanya, sanksi pidana formil ini mengganggu.

“Jadi pemindahan kepada bentuk sanksi administrasi berarti penguatan peran PPLH yang ada. Karena sejatinya, penguatan peran pengawas ditambah deregulasi birokrasi dan sanksi adalah hal yang dibutuhkan agar investasi di Indonesia ini dapat digenjot tanpa memberikan dampak lingkungan yang fatal atau bahkan sampai terjadinya ekosida,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp