Ekosida dan Problematika Rekognisi Hukumnya dalam Perspektif WALHI

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Peneliti Senior Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) M. Ridha Saleh saat memberikan paparan. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Dalam rangka memperingati Hari Lingkungan Hidup, ALSA LC UNAIR mengadakan diskusi nasional yang menelaah terkait konsep ekosida dan bingkai hukum di masa depannya dalam rangka eradikasi kejahatan ekosida.

Peneliti Senior Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) M. Ridha Saleh dihadirkan sebagai narasumber yang akan menelaah konsep ekosida itu sendiri. Ekosida adalah bentuk kejahatan pengrusakan lingkungan dan ekosistem yang dilakukan oleh manusia. Ridha berkata bahwa bentuk kejahatan ini masih belum memiliki rekognisi dalam bingkai hukum, baik itu di level internasional maupun nasional.

“Terbatasnya diskursus ini di level Asia Tenggara juga sedikit unik, mengingat kejahatan ekosida mulai mendapatkan pembahasan ketika Amerika Serikat menyebarkan zat kimia beracun Agent Orange pada saat Perang Vietnam,” tuturnya.

Menurut Ridha, kuatnya paradigma antroposentrisme dan globalisasi yang dikuasai korporasi yang kerap merusak lingkungan adalah alasan utama mengapa diskursus ekosida masih sangat terbatas. Ekosida adalah bentuk kejahatan kapitalisme yang berorientasi pada eksploitasi tanah dan kekayaan alam, dilandasi filosofi bahwa kekayaan alam hendaknya digunakan sepenuhnya untuk kemaslahatan hidup manusia. Seringkali kejahatan ekosida disubordinasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, atau tidak kejahatan perang.

“Padahal sejatinya, ekosida harus berdiri sendiri sebagai kejahatan kelima dalam Statuta Roma agar dapat dibawa ke ranah Mahkamah Pidana Internasional. Ekosida merupakan suatu kejahatan yang terkadang tidak antroposentris, tetapi ekosentris karena pelaku melakukan perusakan ekosistem dan kemaslahatan makhluk hidup yang tinggal di lingkungan yang rusak itu,” ujarnya.

Tak hanya itu, argumen Ridha yang mengatakan bahwa ekosida harus menjadi kejahatan yang berdiri sendiri di mata hukum adalah ekosida merusak etika lingkungan. Etika tersebut adalah seperti kelestarian, hak, dan bahkan keadilan lingkungan hidup.

Rekognisi hukum internasional yang terkompromi dan terbatas itu pada akhirnya tertranslasikan ke dalam norma hukum nasional yang terbatas pula. Di Indonesia sendiri, seiring arah kebijakannya yang semakin tidak pro-lingkungan, Ridha memaparkan data dari WALHI bahwa 86% bentuk ekosida yang dilakukan Indonesia adalah dilakukan dalam koridor yang legal.

Di penghujung waktu materinya, Ridha merefleksikan bahwa rekognisi legal terkait kejahatan ekosida itu lebih dari sekadar membingkai hukum yang inklusif terhadap paradigma ekosentris. Kejahatan ekosida mengandung dimensi dominansi kapitalisme yang sarat akan agresi ekonomi dan kolonialisme, serta apartheid.

“Mengakui ekosida berarti kita sudah selangkah lebih maju dalam menghapus problema global tersebut,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp