Mengenal Konsep Migrasi Perubahan Iklim, Salah Satu Bahaya Urgen Akibat Pemanasan Global

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Gagal panen jagung di suatu perkebunan Guatemala akibat cuaca ekstrim yang disebabkan perubahan iklim (Foto: New York Times)

UNAIR NEWS – Artikel New York Times menulis bahwa pada awal dekade 2020an, satu persen dari total daratan di Bumi telah menjadi zona panas (hot zones) layaknya di Gurun Sahara akibat pemanasan global. Dalam artikel yang sama, diperkirakan bahwa dampak perubahan iklim pada 50 tahun kedepan akan menjadikan seperlima dari total daratan di bumi menjadi zona panas. Hal ini dikarenakan bahwa temperatur global dalam 50 tahun akan melambung tinggi lebih cepat daripada 6000 tahun terakhir.

Latar belakang ini menjadi dasar dari topik kuliah tamu mata kuliah Hukum Lingkungan di FH UNAIR pada Senin siang (24/5/2021). Pengajar yang diundang pada kegiatan tersebut adalah Pakar Hukum Lingkungan Edith Cowan University Australia Dr. Mostafa Nasser. Nasser menuturkan bahwa terdapat bahaya urgen yang akan diakibatkan oleh semakin melimpahnya eksistensi zona panas di bumi tersebut, dan bahaya itu dikenal dengan nama Climate Change Migration, atau migrasi perubahan iklim. 

“Zona-zona panas tersebut kebanyakan berada di tempat yang terdapat populasi. Dengan naiknya suhu di zona tersebut, tempat tersebut akan mustahil untuk ditinggali dan rentan terhadap kondisi cuaca yang ekstrim. Alhasil, mereka yang tinggal di sana harus bermigrasi untuk mencari tempat tinggal baru. Itulah climate change migration,” tutur dosen tamu itu.

Nasser bertutur bahwa migrasi perubahan iklim juga memiliki interkoneksi dengan faktor membludaknya populasi di daerah yang rentan berdampak, disparitas ekonomi, dan urbanisasi. Alumni Macquire University itu berkata bahwa migrasi yang biasanya terkesan terpaksa demi kelangsungan hidup ini biasanya meranah ke daerah-daerah urban atau perkotaan, dan bertitik di daerah benua tertentu saja.

“Bahaya dari ini tentu adalah overpopulasi dan inekualitas persebaran penduduk di beberapa bagian dari dunia. Migrasi ini biasanya juga bisa lintas batas negara, dan terdapat statistik bahwa lebih banyak populasi yang terlantar akibat bencana atau kondisi iklim, daripada konflik atau perang,” ujarnya.

Intervensi hukum internasional untuk mencoba menyelesaikan problema masih belum diatur dalam skala masif. Instrumen hukum yang mengikat seperti Paris Agreement, menurut Nasser hanya menyebut isu migrasi perubahan iklim dua kali saja. Nihilnya diskusi secara komprehensif tersebut menjadi suatu problema mengenai isu migrasi perubahan iklim rentan menimbulkan konflik antar negara dan penolakan pengungsi. Nasser menambahkan bahwa isu ini juga memiliki dimensi yang tebal terkait pelanggaran hak asasi manusia dan isu-isu SDGs.

“Hal ini juga dilihat bahwa Convention Relating to the Status of Refugees 1951 hanya memberikan definisi pengungsi sebagai seseorang yang pindah ke negara lain karena dipersekusi dengan dalil-dalil yang politis. Dengan eksistensi problema migrasi perubahan iklim, orang mengungsi tak lagi hanya karena urusan politis, tapi karena urusan lingkungan,” ujarnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp