Pentingnya Kesiapan Ibu dalam Keberhasilan Menyusui

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Kompas Lifestyle

Perilaku makan anak pada tahap awal kehidupan menentukan perilaku makan mereka di masa dewasa. Kekurangan asupan nutrisi dalam 1000 hari pertama kehidupan dapat menyebabkan gagal tumbuh, stunting, gangguan kognitif dan mental yang mungkin berlanjut hingga dewasa jika tidak ditangani hingga usia tiga tahun. Penting untuk dipahami bahwa kegagalan dalam memenuhi rasa lapar pada tahap homeostatis akan merugikan interaksi ibu-bayi pada tahap pemberian makan selanjutnya. Interaksi makan dipengaruhi oleh tahap perkembangan anak, yaitu tahap homeostatis, keterikatan, dan individuasi, serta tugas tertentu yang diperlukan di setiap tahap. Orang tua dan masyarakat pada umumnya mungkin kurang memiliki pengetahuan tentang tahap perkembangan yang disebutkan di atas, yang seringkali membawa masalah lebih lanjut dalam proses pemberian makan.

Sejak lahir, seorang anak sudah tidak lagi menerima nutrisi melalui tali pusat secara pasif, melainkan harus menerimanya secara langsung dari proses menyusui. Bayi memberi isyarat berupa tangisan saat lapar, dan berhenti menyusu apabila ia sudah merasa kenyang. Seorang ibu harus dapat mengenali, merespon, dan mengarahkan sinyal tersebut dengan cara memberikan ASI dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi rasa lapar. Telah diakui secara luas bahwa ASI memiliki banyak manfaat kesehatan, gizi, imunologi, perkembangan, psikologis, sosial, ekonomi, dan perkembangan. Di antara faktor yang paling berkontribusi yang mempengaruhi pemberian ASI di rumah sakit adalah operasi caesar, inisiasi menyusui setelah dua jam, kurangnya kontak kulit-ke-kulit (SSC), pemisahan lebih dari satu hari atau 24 jam, dan gangguan kesehatan pada bayi. Siap untuk melahirkan adalah salah satu prediktor keberhasilan menyusui.

Sebanyak lebih dari 50 persen partisipan telah melahirkan dengan cara operasi caesar, ada pula partisipan yang mengalami persalinan pervaginam spontan disertai kejadian yang membuat stres. Menempatkan bayi di kamar terpisah mungkin tampak seperti tindakan yang menghibur ibu, tetapi stres yang dialami bayi menghalangi aspek keterikatan dan stabilisasi. Seorang bayi selalu menangis ketika bertemu dengan ibunya, yang menyebabkan sang ibu panik, tidak percaya diri, dan gagal menyusui. Depresi pasca persalinan menyebabkan kegagalan menyusui, tetapi kegagalan menyusui itu sendiri dapat menyebabkan depresi pasca persalinan. Kontak kulit-ke-kulit (SSC) yang segera dan tidak terputus akan mendukung ibu untuk mulai menyusui. Tindakan medis apa pun tidak boleh mengabaikan hubungan keterikatan antara ibu dan bayinya. Hal ini bertujuan untuk menjaga SSC agar produksi oksitosin tidak terhenti. Selama kontak kulit-ke-kulit antara ibu dan bayinya, otak ibu melepaskan beta-endorphin, yang merupakan hormon analgesik yang membantunya merespon bayi yang baru lahir sehingga meningkatkan kebahagiaan antara interaksi ibu dan bayi, hal ini juga yang membuat beberapa partisipan akhirnya berhasil mengatasi rasa sakit untuk merawat bayi.

Seorang partisipan menyatakan bahwa ia mendapat ASI yang sangat banyak karena merasa bahagia atas kelahiran putrinya. Partisipan lain yang baru pertama kali melahirkan menumbuhkan rasa percaya dirinya dalam menyusui dengan merasa tersedianya ASI yang cukup untuk bayinya. Pendampingan dari anggota keluarga merupakan bentuk dukungan yang membantu partisipan. Pengaruh keluarga dan sosial budaya (kepercayaan, mitos) dapat menjadi faktor risiko atau ketahanan seorang ibu dalam menyusui. Seorang ibu harus memperkaya pengetahuan dan pemahamannya tentang menyusui dan memperkuat dukungan mental untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam menyusui. Tujuannya agar orang tua melekat secara emosional kepada bayinya, sehingga bayi itu memulai kehidupan yang baik.

Kurangnya pengetahuan pada partisipan menyebabkan pembengkakan payudara sehingga bayi tidak dapat menyusu selama dua hari. Sebaliknya, beberapa partisipan tetap memompa ASInya meski proses menyusui belum dimulai, sehingga ASI mengalir lancar. Hal ini menunjukkan bahwa rawat inap selama 24 jam tidak menjamin pengalaman menyusui yang lancar bila ibu tidak menyusui atau memompa ASI secara teratur. Beberapa partisipan juga menjaga suplai ASI yang baik dengan menyusui dan memompa ASI meskipun bayi mengonsumsi susu formula. Konsumsi susu formula dalam beberapa hari pertama setelah melahirkan tidak mengganggu pengalaman menyusui, dengan ketentuan sebagai berikut: (1) susu formula diberikan dalam jumlah terbatas (10 ml) setelah menyusui, (2) susu formula hanya diberikan kepada bayi dengan dehidrasi> 5% dalam 48 jam pertama kehidupan, (3) susu formula tidak mempengaruhi frekuensi menyusui, yaitu 8-12 kali dalam 24 jam, (4) susu formula harus dihentikan segera setelah ASI cukup, (5) Jenis susu formula yang dianjurkan adalah susu formula yang dihidrolisis secara ekstensif. Beberapa bayi partisipan akhirnya menolak untuk disusui karena mendapat susu yang dipompa melalui botol, oleh karena itu disarankan untuk memberikan susu formula dengan menggunakan spuit agar tidak terjadi kebingungan pada puting susu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa diperlukan upaya ibu untuk memastikan ketersediaan ASI dengan difokuskan pada persiapan ibu dalam menjalani proses persalinan, pemahaman tentang pentingnya rawat inap, dan kesadaran pemberian susu formula. Ibu harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang tahap homeostatis untuk meningkatkan kualitas ASI, proses menyusui untuk mengembangkan perilaku menyusui yang baik sedini mungkin.

Penulis: Prof. Dr. Merryana Adriani, S.KM., M.Kes

Informasi detail tentang riset ini dapat dilhat pada tulisan kami di :

https://pjmhsonline.com/2020/oct_dec/1802.pdf

NI PUTU SUDEWI, MERRYANA ADRIANI, AHMAD SURYAWAN, OEDOJO SOEDIRHAM,WARSONO WARSONO (2020). Managing Feeding Behavior Since Birth: What Should Parents Know about the Homeostatic Stage Manifestations?. Pakistan Journal of Medical & Health Science, 14 (04) : 1802-1806

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp