Pria Penderita Diabetes Mellitus Tipe-2 dan Disfungsi Ereksi di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Republika

International Diabetes Federation mengkonfirmasi pada 2019 kasus diabetes mellitus tipe-2 (DMT2) telah diderita oleh 9.6% pria dan 9.0% populasi wanita di dunia. Setidaknya 75 juta orang penderita di antaranya berada di Asia Tenggara, dan di Indonesia, penyakit ini menjadi penyebab utama disabilitas dan kematian prematur. Dibandingan pada wanita, diabetes mellitus dapat terjadi lebih awal pada usia pria yang lebih muda. Meskipun telah banyak studi yang mengkaitkan prevalensi DMT2 dan disfungsi ereksi (DE), sayangnya komplikasi ini jarang mendapatkan perhatian, tidak segera terdiagnosis dan tidak tertangani dengan baik dan cepat.

Dalam beberapa studi, dilaporkan bahwa gejala awal DE tidak dikenali penderitanya, sampai pada akhirnya menyerang 1 dari 3 orang pria setelah didiagnosa DMT2 dalam kurun 5 tahun. Kasus DE jarang dikonsultasikan penderitanya kepada profesional kesehatan yang merawat karena anggapan isu tabu, dan malu. Dalam beberapa studi yang lain, profesional kesehatan juga menyampaikan keengganannya memulai diskusi seputar fungsi seksual dengan pasiennya. Beberapa alasan yang ditemukan di antaranya karena lupa menanyakan kepada penderita DMT2, ataupun karena enggan memulai pertanyaannya.

Kenyataannya, DE dilaporkan sebagai penyebab ketidakpuasan seksual, ketegangan hubungan dengan pasangan, sampai dengan menyebabkan pria yang masih lajang untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenisnya. Meski penelitian seputar DMT2 dan solusi atas DE pada pria telah banyak dilakukan di negara-negara maju, sayangnya diskursus ini jarang diketahui di Indonesia. Karenanya, kami menginisiasi studi kualitatif ini untuk mendukung kelahiran penelitian-penelitian di masa yang akan datang yang akan menjadi landasan untuk mengadvokasi kebutuhan pria penyandang DMT2 dan pengembangan dan perbaikan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.

Kami mewawancarai duabelas orang pria berusia 30 sampai 55 tahun yang tinggal di Surabaya sebagai partisipan utama penelitian ini. Pertanyaan pada penelitian ini kami arahkan untuk mengulas pengalaman mereka setelah terdiagnosis dengan DMT2 dan perubahan kemampuan sekssualnya, dukungan yang mungkin diterima dari istri/pasangan seksual mereka, persepsi mereka tentang perlunya kemampuan seksual, termasuk bagaimana DMT2 telah mempengaruhi hubungan seksual dan/atau pernikahan mereka, serta dukungan yang mereka harapkan dan dapatkan dari profesional kesehatan yang merawat. partisipan penelitian ini kami dapatkan melalui perbantuan Puskesmas di Surabaya untuk mengidentifikasi pria penderita DMT2. Mengingat isu tabu dan kemungkinan rasa malu partisipan, kami sangat memperhatikan cara menginisiasi hubungan, dan menentukan waktu dan lokasi wawancara dengan pria penderita DMT2. Studi ini telah melalui uji etik di lembaga komite etik di Australia dan Indonesia sebelum pengumpulan datanya.

Data yang kami dapat, kami translasikan secara verbatim dan lakukan analisis tematik secara induktif untuk mendapatkan narasi keseluruhan dari pengalaman pria yang menderita DMT2 dan kemungkinan mengalami DE. Sepuluh dari duabelas orang yang menjadi partisipan mengakui telah mengalami penurunan kemampuan seksual yang signifikan. Sayangnya, tidak ada satupun yang mencari perbantuan profesional kepada tenaga kesehatan sampai dengan data penelitian ini terkumpul. Mereka menganggap bahwa penurunan kemampuan seksual tersebut lebih karena proses penuaan dan penyakit, meskipun mereka mengeluhkan beban mental yang disebabkan DE. Beberapa di antara partisipan yang berusia kurang dari 47 tahun menyampaikan bahwa kondisi ini menjadi kontributor perilaku kesehatan yang beresiko seperti mencari pengobatan alternatif, membeli obat kuat tanpa resep, sampai dengan membeli obat yang sama sekali tidak diketahui manfaatnya.

Kesan putus asa yang tertangkap dari partisipan pada penelitian kami mengindikasikan bahwa mereka membutuhkan bantuan dan dukungan. DE telah membebani secara psikologis, menghancurkan kepercayaan diri, kehilangan identitas sebagai maskulin, kehilangan keinginan untuk memuaskan diri secara seksual, dan tidak bahagia. Salah satu partisipan kami bahkan menyampaikan kekesalan atas DE yang diderita dengan melampiaskan sebagai amarah yang tidak berdasar kepada istrinya. Penurunan kemampuan seksual pada penderita DMT2 adalah akibat kompleks dari proses penyakit, pertambahan usia, manajemen penyakit yang buruk, dan efek samping dari pengobatan yang mungkin diterima untuk menurunkan depresi dan tekanan darah.

Meski, banyak di antara partisipan yang mengklaim bahwa DMT2 yang diderita tidak mengubah keintiman mereka dengan pasangan. Beberapa di antara mereka menyampaikan bahwa ini lebih karena takut untuk menanyakan perasaan istri berkenaan dengan penurunan kemampuan seksual yang dialami. Sebaliknya, mereka justru merasakan dukungan luar biasa yang diberikan oleh istri mereka untuk dapat sembuh dari DMT2. Dukungan ini disampaikan dalam bentuk perhatian terhadap menu makanan, menemani kontrol ke fasilitas kesehatan, dan dukungan psikologis lainnya. Sayangnya, keterbatasan pemahaman terhadap makanan sehat untuk penderita DMT2 telah menyebabkan adaptasi menu makanan yang justru membahayakan penderita. Hal ini mengindikasikan perlunya pelibatan istri dan pasangan seksual dalam pendidikan kesehatan yang dapat mendukung kesembuhan penderita.

Penelusuran kami yang lebih jauh menunjukkan adanya kesamaan temuan pada penelitian ini dengan studi-studi terdahulu, bahwa pendidikan kesehatan seputar DMT2 dan DE tidak pernah disinggung oleh profesional kesehatan saat kontrol kesehatan rutin. Partisipan menyatakan mereka terlalu malu untuk mulai bertanya dan mereka lebih berharap bahwa diskusi seputar topik sensitif ini dimulai oleh profesional kesehatan yang merawat.

Penulis: Setho Hadisuyatmana

Informasi lebih lengkap tentang penelitian ini dapat dilihat di: https://link.springer.com/article/10.1007/s11195-021-09687-y

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp