Penggunaan Inotropik pada Terapi Penyekat Beta Kronis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: Alodokter

Peningkatan penyakit kardiovaskular berkontribusi pada peningkatan jumlah pasien rawat inap yang telah mendapatkan terapi penyekat beta/ beta-blocker oral kronis. Terapi penyekat beta tetap menjadi salah satu terapi fundamental untuk gagal jantung kronis. Namun, peran mereka dalam gagal jantung dekompensasi dan sepsis berat selama rawat inap sering diperdebatkan dan tidak konsisten dalam praktik klinis. Dalam beberapa tahun terakhir, bukti efikasi dan hasil klinis terapi penyekat beta pada gagal jantung akut (AHF) telah banyak. Penelitian klinis menunjukkan bahwa penghentian terapi penyekat beta yang kronis harus dicegah, atau segera setelah stabilisasi hemodinamik dan kondisi euvolemik tercapai, terapi harus dilanjutkan kembali. Pada pasien AHF dengan curah jantung rendah yang membutuhkan inotropik selama rawat inap, pemilihan agen yang tepat adalah hal yang mendasar dan penting.

Agen penyekat beta/ beta-blocker (BB), pada semua spektrum gagal jantung (HF), memainkan peranan penting dalam menurunkan angka kematian dan meningkatkan kapasitas fungsional. Berbeda dengan gagal jantung kronis (HF), data tentang toleransi terhadap beta-blocker minimal pada pasien yang sangat simtomatik akibat dekompensasi atau gagal jantung akut di rawat inap. Dilema pada terapi setelah eksaserbasi gagal jantung adalah masalah penurunan atau penghentian terapi beta-blocker jangka panjang dengan aktivitas inotropik negatif. Pemberian bersama, inotropik dan beta-blocker akan mengurangi efek hemodinamik yang diinginkan pada agen inotropik tertentu.

Peningkatan kadar katekolamin yang berkepanjangan berkorelasi dengan prognosis yang buruk. Dengan fakta bahwa beta-blocker pada gagal jantung kronis memiliki manfaat pada survival yang pasti, maka aktivasi beta-adrenergik juga menyebabkan efek jangka panjang yang merugikan. Meskipun banyak pasien dengan terapi agen beta-blocker membaik, sebagian kecil dari pasien dapat mengalami eksaserbasi atau perburukan dan memerlukan rawat inap setelah inisiasi. Oleh karena itu, pada pasien gagal jantung lanjut yang tidak mentolerir inisiasi beta-blocker dan pasien dengan terapi pemeliharaan beta-blocker, terapi bersamaan dari agen inotropik dan beta-blocker mungkin diperlukan.

Peningkatan mortalitas jangka panjang selalu menjadi masalah pada penggunaan agen inotropik, meskipun terdapat perbaikan hemodinamik dan gejala pada penggunaan jangka pendek. Menurut pedoman gagal jantung terbaru yang diterbitkan dari European Society of Cardiology (ESC), inotropik hanya diberikan untuk pasien dengan penurunan curah jantung yang berat yang mengakibatkan gangguan perfusi organ vital (rekomendasi Kelas IIb, level C). Jika penyekat beta dianggap berkontribusi pada hipotensi dan hipoperfusi, levosimendan atau penghambat PDE III dapat dipertimbangkan untuk mengantagonis efek penyekat beta (rekomendasi Kelas IIb, level C).

Dobutamin memiliki kemampuan untuk menstimulasi reseptor beta-1, beta-2, dan alpha-1, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan curah jantung dengan sedikit efek penurunan resistensi vaskular sistemik. Dengan demikian, efek inotropik dobutamin didasarkan pada ketersediaan reseptor beta-adrenergik dan jalur transduksi sinyalnya. Beta-blocker dosis tinggi akan menghambat efek farmakologis dobutamin. Penghambatan dan stimulasi simultan dari reseptor yang sama (β1, β2, dan α) secara logis menjadi tidak efisien. Agen inotropik dengan jalur seluler yang berbeda jelas dapat berfungsi sebagai alternatif dalam situasi ini.

Milrinon memiliki perbedaan penting dari dobutamin. Penghambat PDE tipe III bekerja dengan menghalangi pemecahan siklik adenosin monofosfat di otot polos miokardium dan vaskular, yang menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler, menghasilkan efek inotropik dan lusitropik positif. Alasan di balik kombinasi penghambat PDE III dengan beta-blocker adalah, karena tempat kerjanya di luar dari reseptor beta-adrenergik, dengan demikian penghambat PDE III dapat mempertahankan efek hemodinamik meski terdapat blokade beta. Rekomendasi dari pedoman ESC HF 2016 mendukung penggunaan penghambat PDE III untuk mengembalikan efek blokade beta jika blokade beta dianggap berkontribusi pada hipotensi dengan hipoperfusi (rekomendasi Kelas IIb, level C). Kekurangan penting dari milrinon berasal dari penelitian Outcomes of Prospective Trial of Intravenous Milrinone for Exacerbations of Chronic Heart Failure (OPTIME-CHF), pada pasien dengan etiologi iskemik, milrinon menunjukkan kecenderungan pada keluaran klinis yang merugikan.

Dalam keadaan gagal jantung akut dekompensasi, levosimendan semakin banyak digunakan sebagai pengobatan jangka pendek ketika bantuan inotropik diperlukan. Levosimendan meningkatkan kontraktilitas miokard dengan mengikat troponin C, meningkatkan kepekaan terhadap kalsium, sehingga bergantung pada konsentrasi kalsium intraseluler. Levosimendan bekerja di luar reseptor beta-adrenergik dan dengan demikian mempertahankan efek hemodinamiknya bersamaan dengan penggunaan beta-blocker. Perbedaan ini juga berkontribusi pada pedoman ESC HF 2016 bahwa levosimendan adalah agen pilihan untuk pasien gagal jantung dengan terapi beta-blocker ketika agen inotropik diperlukan (rekomendasi Kelas IIb, level C).

Depresi miokard yang diinduksi sepsis berhubungan dengan tonus simpatis yang tinggi. Pasien sepsis seringkali tetap takikardia meskipun faktor umum seperti hipovolemia, anemia, agitasi, dan efek pengobatan telah dieliminasi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa terapi dengan beta-blocker akan memperbaiki parameter kardiovaskular dan, mungkin, tingkat survival sepsis berat atau syok septik. Beta-bloker akan membatasi stimulasi simpatis berlebihan dan efek samping terkait. Rekomendasi Surviving Sepsis Campaign terbaru mendukung penggunaan dobutamin, hingga 20μg / kg / menit, sebagai agen pilihan pertama pada pasien dengan (a) disfungsi miokard, seperti yang ditunjukkan dengan peningkatan tekanan pengisian jantung dan curah jantung yang rendah, (b) hipoperfusi persisten dengan volume intravaskular yang adekuat dan MAP yang adekuat meski menggunakan agen vasopressor. Dosis inotropik harus dititrasi berdasarkan perfusi sebagai titik akhir. Namun, saran pedoman ini didasarkan pada kelangkaan bukti tentang hasil dari uji coba terkontrol secara acak. Desensitisasi kalsium memainkan peran penting dalam patofisiologi depresi miokard septik, sehingga penggunaan levosimendan juga telah direkomendasikan pada syok septik. Data terbaru tentang penggunaan levosimendan pada pasien ini cukup menjanjikan. Telah didokumentasikan bahwa levosimendan dapat mengurangi kadar laktat serum, memberikan efek reno-protektif, dan memulihkan indeks jantung tanpa meningkatkan peningkatan oksigen miokard, serta berkontribusi pada keluaran jangka pendek yang lebih baik.

Dalam ulasan ini, kami mempresentasikan konteks untuk tatalaksana inotropik pada pasien dengan terapi beta-blocker kronis, termasuk ulasan mengenai kemungkinan risiko dan manfaat dalam bukti yang lebih kontemporer. Inisiasi beta-blocker harus dilakukan setelah stabilisasi hemodinamik tercapai, secara optimal, sebelum meninggalkan rumah sakit. Data menunjukkan bahwa penghentian beta-blocker selama rawat inap harus dihindari jika memungkinkan. Penghambat PDE atau levosimendan yang tidak mempengaruhi reseptor beta-adrenergik secara spesifik lebih disukai untuk digunakan pada pasien dengan terapi beta-blocker yang membutuhkan terapi inotropik.

Penulis : Mochamad Yusuf Alsagaff

Artikel lengkapnya dapat dilihat pada link berikut ini,

http://www.phcogj.com/article/1431

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp