Dekan FH UNAIR Paparkan Aspek Perlindungan Perempuan dalam Diskursus Bisnis dan HAM

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Dekan FH UNAIR, yakni Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., sebagai salah satu narasumber. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Dalam rangka menyemarakkan gegap gempita dari selebrasi Hari Buruh yang jatuh tiap 1 Mei, Komite Kajian Hak Sipil dan Politik Amnesty International Indonesia (AII) Chapter UNAIR mengadakan perhelatan webinar dengan tajuk “Potret Kilat Implementasi Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Perempuan di Indonesia melalui Lensa Bisnis dan Hak Asasi Manusia”. Kegiatan tersebut mengundang Pakar Bisnis dan HAM UNAIR yang kini juga menjabat sebagai Dekan FH UNAIR, yakni Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., sebagai salah satu narasumber.

Diskursus mengenai hak buruh/ketenagakerjaan memang mustahil dijauhkan dari aspek bisnis, oleh karena itu disiplin Bisnis dan HAM (BHR) mencoba untuk mengkaji langkah-langkah bagaimana kemaslahatan suatu bisnis tidak boleh melanggar nilai-nilai HAM. Iman menjelaskan bahwa instrumen hukum internasional mengenai BHR termaktub dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs). Instrumen tersebut disokong oleh tiga pilar utama, yakni: kewajiban negara untuk melindungi nilai-nilai HAM, tanggungjawab korporasi untuk menghormati HAM, akses untuk mendapatkan keadilan terkait pelanggaran HAM dalam bisnis.

“Sekalipun sifat UNGPs ini non-binding, instrumen ini berlaku sebagai referensi bagi instrumen hukum lainnya yang sifatnya mengikat. Dalam UNGPs terdapat asas knowing and showing. Untuk knowing, korporasi diharapkan untuk mengetahui akan dampak-dampak negatif kegiatan korporasi yang dapat mengakibatkan pelanggaran HAM sehingga dapat menghindarinya. Untuk showing, korporasi dapat menunjukkan ke publik akan pengambilan langkah-langkah bisnis yang sejalan dengan prinsip HAM. Jadi pada dasarnya, ini lebih terfokus pada pembelajaran yang konstan daripada penghukuman,” tutur alumni Macquarie University itu.

Iman menjelaskan bahwa UNGPs pada hakikatnya berfungsi untuk menumbuhkan human rights due dilligence (HRDD), atau langkah-langkah bisnis yang secara proaktif mengedepankan kemaslahatan HAM, bukan korporasi belaka. Ia menambahkan bahwa norma HRDD telah diadopsi dalam hukum nasional beberapa negara agar menjadi mandatoris, seperti Luxembourg, Belanda, Inggris, dan Australia.

“Namun sayangnya, masih jarang ditemui langkah serius dalam hukum Indonesia untuk mengadopsi nilai-nilai BHR serta HRDD. Rata-rata hanya diadopsi dalam peraturan pelaksana atau peraturan menteri saja. Seakan-akan regulasi ini hanya untuk menghindari sanksi internasional saja demi kemaslahatan ekonomi,” cerita Iman.

Isu perempuan dalam diskursus BHR memiliki dimensi yang tebal menurut Iman. Dari sektor ketenagakerjaan, contohnya terdapat segregasi gender yang secara sistemik menempatkan perempuan pada jenis pekerjaan tertentu yang service-oriented,serta mendapatkan upah yang lebih rendah daripada laki-laki. Inekualitas upah sendiri merupakan problema tersendiri dalam konteks Indonesia, dimana perempuan memiliki pendapatan 23% lebih rendah daripada laki-laki menurut riset ILO.

Akademisi itu memaparkan beberapa riset di Indonesia terkait isu perempuan dalam aspek ketenagakerjaan. Menurut survei Oxfam, sebanyak 80-90% pekerja perempuan dikontrak melalui perusahaan outsourcing sehingga terdapat ketimpangan status pekerja yang berdampak pada upah. Dalam studi di industri garmen di KBN Cakung, sebanyak 56,5% buruh perempuan pernah mengalami pelecehan seksual.

“Dalam sektor pertanahan dan SDA masih banyak lagi isunya. Seperti nihilnya perwakilan suara perempuan dalam konflik tanah adat atau agraria lainnya, atau kompensasi resettlement dalam industri pertambangan seringkali ditujukan hanya untuk laki-laki, mengabaikan perempuan,” ujar pakar Hukum Internasional itu.

Iman menegaskan bahwa Indonesia harus segera mengadopsi dan mengimplementasikan norma-norma HRDD yang gender-sensitive, yakni adanya rekognisi ketimpangan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki dalam konteks sosio-politik dan ekonominya, serta diskriminasi terhadap perempuan. Partisipasi penuh perempuan juga merupakan keharusan bagi Iman dalam penyusunan kebijakan HRDD dan operasi korporasi

“Tak hanya itu, akses menuju keadilan terhadap pelanggaran BHR dan HRDD juga harus didorong agar lebih transparan dan memiliki indikator yang peka terhadap isu gender,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp