Menganalisis Sinkronisasi Siklus Bisnis Negara ASEAN+3: Sebagai Prasyarat Penyatuan Mata Uang Bersama

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh ASEAN

Selama dekade terakhir, regionalisme telah meningkat pesat di berbagai belahan dunia dan lebih-lebih di Asia Timur. Kerjasama regional dan integrasi dalam perdagangan, investasi, keuangan dan daerah uang yang menyatu dianggap sebagai strategi terbaik untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan stabilitas makroekonomi dan meningkatkan pertumbuhan di kawasan ini. Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Free Trade Agreement (AFTA), dimulai pada tahun 1992, tanda yang paling tepat terlihat dari dekat hubungan antara negara Asia Timur (China, Jepang, Kora). Baru-baru ini, mekanisme lain termasuk China, Jepang dan Korea Selatan didirikan seperti ASEAN-China FTA (ACFTA, 2010), ASEAN-Korea Selatan FTA (AKFTA, 2010) dan ASEAN-Jepang Ekonomi Komprehensif Part-nership (AJCEP 2007), sementara China, Jepang dan Korea Selatan sedang meneliti kemungkinan menempa FTA trilateral.

Munculnya integrasi regional yang demikian dapat mendorong ide penggabungan dalam mata uang bersama atau currency union (CU) dengan harapan memberikan manfaat dan cost bagi negara anggotanya. Manfaat mensubstitusi mata uang beberapa negara ke dalam suatu mata uang bersama juga dapat menjaga kestabilan nilai tukar sehingga mengurangi biaya transaksi, peningkatan perdagangan dan investasi antar negara dalam suatu grup tersebut. Cost yang harus diterima suatu negara dengan bergabung dalam economic and monetary union (EMU) adalah kebijakan moneter yang diambil secara independen dapat berlawanan dengan siklus bisnis sehingga negara dengan siklus bisnis yang khas akan melepaskan alat kestabilan potensialnya jika bergabung dalam currency union. Selain itu hilangnya kemampuan kebijakan moneter yang independen

Sementara itu dalam agenda menyatukan mata uang kerapa dikaitkan dengan siklus bisnis (business cycle) atau juga dikenal sebagai siklus ekonomi (economic cycle). Hal tersebut adalah pola jangka panjang pertumbuhan (ekspansi) dan resesi (kontraksi) ekonomi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Centre for International Business Cycle Research di Universitas Columbia New York, antara tahun 1854 dan 1945 ekspansi ekonomi rata-rata berlangsung 29 bulan sementara masa kontraksi berlangsung 21 bulan. Namun demikian, sejak berakhirnya Perang Dunia II, siklus ekspansi telah memanjang hingga hampir dua kali lipat, yaitu rata-rata 50 bulan, sementara siklus kontraksi memendek hingga rata-rata berlangsung hanya 11 bulan.

Kajian ini mencoba menggali penelitian baru dengan melihat pergerakan dari siklus bisnis antar negara-negara ASEAN+3 serta menganalisis respon dari guncangan (shock) ekonomi negara lain. Menurut teori Optimum Currency Area sinkronisasi siklus bisnis dan guncangan output yang simetris adalah sangat penting (crucial) karena biaya dari kehilangan kebijakan moneter yang independen akan dapat dikurang secara signifikan ketika negara-negara memiliki kesamaan atau korelasi yang positif terhadap guncangan (shock) ekonomi. Berbekal data sekunder yang merupakan multivariate time-series 5 (lima) negara ASEAN, yaitu: Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Fhilipina dan 3 (tiga) negara Asia Timur, yaitu: China, Jepang, dan Korea Selatan serta satu negara kontrol (anchor) Amerika Serikat.  Proxy yang digunakan dalam variabel ini adalah Real Gross Domestic Product (GDP) yang dikumpulkan dari CEIC, IMF, dan Worldbank tahunan untuk rentang waktu 1964 sampai 2016. Data tersebut diplot ke dalam 2 (dua) periode waktu 1964 sampai dengan 1998 sebagai periode sebelum krisis dan 1999 sampai dengan 2016 sebagai periode setelah krisis. Data indeks tersebut dirubah kedalam tahun dasar 2010 (base year). Data tersebut kemudian dipisahkan antara tren dengan komponen siklikal-nya untuk mendapatkan komponen siklikal dengan menggunakan HP Filter yang selanjutnya akan dianalisis.

BerdasarkanHP Filter, kombinasi hasil analisis contemparaneous correlation, cross correlation dan nilai lag/lead saat maxsimum correlation disimpulkan sebagai berikut: (1) pada guncangan yang ditimbulkan oleh Negara China baik sebelum maupun setelah krisis terjadi nilai korelasi siklus bisnis yang semakin kuat yang mengarah pada siklus bisnis yang tersinkron antara pasangan Negara Malaysia-Indonesia dan pasangan Negara Thailand-Philipina. Sedangkan Singapura memiliki siklus bisnis yang berbeda dengan negara lainnya (tidak sinkron); (2) pada guncangan yang ditumbulkan oleh Negara Jepang baik sebelum maupun setelah krisis terjadi nilai korelasi siklus bisnis yang semakin kuat namun tidak lebih kuat dari gunjangan siklus bisnis China. Hasil nilai korelasi siklus bisnis yang semakin kuat yang mengarah pada siklus bisnis yang tersinkron antara pasangan Negara Singapura-Malaysia dan pasangan Negara Indonesia-Thailand-Philipina; (3) pada guncangan yang ditimbulkan oleh Negara Korea baik sebelum maupu setelah krisis terjadi nilai korelasi siklus bisnis yang semakin kuat yang mengarah pada siklus bisnis yang tersinkron antara pasangan Negara Singapura-Malaysia dan pasangan Negara Thailand-Indonesia-Philipina. Artinya meski dinamis dan sangat anomali, sinkronisasi secara komprehensif tetap akan lebih sulit dilakukan dibandingkan bila dilakukan sinkronisasi secara parsial (bertahap).

Penulis: Feri Dwi Riyanto, Angga Erlando, dan Tri Haryanto

Informasi detail dari  artikel  ini dapat dilihat pada tulisan kami di: 

https://www.jafeb.org/journal/viewFullTextArchive.do

The Journal of Asian Finance, Economics and Business

Volume 8 Issue 3 / Pages.781-791 / 2021 / 2288-4637(pISSN) / 2288-4645(eISSN)

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp