Buruh Siluman di Sektor Industri Kelapa Sawit, Siapakah Mereka?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret keluarga buruh yang sedang melakukan pekerjaan sehari-hari di perkebunan kelapa sawit di daerah Sumatera (Foto: Hariati Sinaga)

UNAIR NEWS – Sebagai akademisi yang memfokuskan penelitiannya pada sektor industri kelapa sawit, Hariati Sinaga, S.Sos., M.A., Ph.D., menjuluki buruh perempuan yang bekerja di sektor industri kelapa sawit Indonesia sebagai “Buruh Siluman”. Hal ini dikarenakan bahwa hasil kinerja dari sekitar 7,6 juta buruh perempuan dapat dilihat gamblang, namun perlindungan hukum dan HAM untuk mereka hampir nihil. Jadi, antara ada dan tiada layaknya siluman.

Potret pembagian peran buruh di sektor perkebunan dibagi berdasarkan gender, dimana laki-laki lebih terfokus perannya pada pemanenan kelapa sawit, sementara perempuan terfokus pada perawatan seperti penyemprotan pestisida dan pemupukan. Seringkali buruh perempuan ini bersifat sebagai asisten dari suaminya yang merupakan buruh laki-laki untuk perkebunan.

“Alhasil dari sifat sebagai asisten suami tersebut, status buruh perempuan di sana rata-rata adalah buruh harian lepas (BHL). Mereka seringkali mendapatkan upah rendah, atau tidak dibayar sama sekali karena penghasilannya digabung bersama upah suami. Tentu saja mereka direkrut tanpa kontrak kerja dan tidak mendapat akses BPJS di lingkungan kerja yang sangat berbahaya. Mereka juga jarang sekali mendapat cuti haid dan hamil,” tutur peneliti International Center For Development and Decent Work (ICDD) itu.

Menyadur liputan investigasi Associated Press, sektor industri tersebut juga sarat akan kasus kekerasan seksual dan femisida kepada buruh perempuan. Hariati juga menyinggung isu K3 dalam pemupukan dan penyemprotan pestisida hampir selalu tidak disediakan APD oleh perusahaan, sehingga dengan drastis mempengaruhi kesehatan buruh-buruh perempuan. Untuk menelaah kelanggengan fiasko ini, Hariati mengeksplor sejarah perkebunan dari zaman kolonial menggunakan dua kerangka teoritis, yaitu: relasi lahan dengan buruh, relasi subordinasi perempuan.

“Perkebunan kelapa sawit di daerah Sumatra telah dikembangkan sejak zaman Belanda dan rezim perburuhan di sektor industri ini dapat dibagi menjadi dua babak. Babak pertama adalah rezim tanam paksa, yang mewajibkan kuli kontrak laki-laki untuk memberikan sebagian besar hasil kerjanya ke pemerintah kolonial sementara perempuan di sektor tersebut mengemban peran prostitusi. Babak kedua adalah rezim kebijakan liberal dimana kuli kontrak beralih status menjadi buruh, dan perempuan beralih peran menjadi buruh perempuan di perkebunan,” ujar alumni University of Kassel itu.

Menurut Hariati, kolonialisme yang tercermin dalam sistem tanam paksa memiliki dimensi tersendiri, yakni coloniality of gender. Kolonialisasi gender tersebut dapat dilihat melalui bagaimana perempuan pribumi di perkebunan digunakan sebagai jasa prostitusi untuk orang Belanda. Fenomena ini disebut housewifization, dimana penjajah pada akhirnya melihat perempuan di tanah jajahannya tidak sebagai seorang manusia, tapi suatu koloni yang dapat dikolonialisasi.

Liberalisasi rezim perburuhan kolonial dengan langgengnya paradigma subordinasi perempuan tersebut berdampak pada dehumanisasi buruh perempuan di perkebunan. Hariati mengatakan disinilah rezim upah rendah dan rentannya kekerasan seksual serta femisida, bermain peran untuk mendegradasi hak-hak mereka. Menurutnya, hal tersebut demi tercapainya akumulasi primitif ala Marx untuk profit yang maksimum di sektor industri kelapa sawit. Fenomena perekrutan keluarga buruh untuk mengurus perkebunan dengan paradigma heteropatriarkis semakin melanggengkan subordinasi tersebut.

“Disini dapat ditemui suatu analogi bahwa lahan dan perempuan di masa itu sama-sama dipandang sebagai sesuatu yang dapat dikolonialisasi, dieksploitasi manfaatnya sebanyak-banyaknya. Hal ini masuk akal, mengingat tidak jarang ditemui dimensi konflik perempuan di suatu konflik agraria,” simpul akademisi itu.

Hariati berkata bahwa skenario fiasko zaman kolonial tersebut sering direplikasi dan direproduksi di zaman kemerdekaan, ambil contoh transmigrasi pada masa Orde Baru yang melanggengkan kembali rezim keluarga buruh yang heteropatriarkis. Kebijakan pemerintah yang kerap melanggengkan julukan Buruh Siluman tersebut bagi Hariati, masih dihantui oleh berbagai pedagogi kekejaman terhadap perempuan pada masa kolonial.

“Sedihnya, eksistensi UU Ciptaker akan semakin melanggengkan perampasan lahan, informalisasi pasar kerja formal, dan tentunya akan mempertajam subordinasi perempuan tersebut,” tutupnya.

Materi tersebut disampaikan dalam webinar yang digelar pada Sabtu pagi (8/5/2021) olehKomite Kajian Hak Sipil dan Politik Amnesty International IndonesiaChapter UNAIR dengan tajuk “Potret Kilat Implementasi Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Perempuan di Indonesia melalui Lensa Bisnis dan Hak Asasi Manusia” dalam rangka memperingati Hari Buruh.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp