Komnas Perempuan Angkat Bicara Terkait Problematika Pekerja Rumah Tangga di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
– Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tiasri Wiandani, S.E., S.H., diundang sebagai salah satu narasumber. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tiasri Wiandani, S.E., S.H., diundang sebagai salah satu narasumber dalam webinar yang digelar oleh Komite Kajian Hak Sipil dan Politik Amnesty International Indonesia Chapter UNAIR dengan tajuk “Potret Kilat Implementasi Pemenuhan Hak Tenaga Kerja Perempuan di Indonesia melalui Lensa Bisnis dan Hak Asasi Manusia”. Perhelatan ini digelar dalam rangka menyemarakkan peringatan Hari Buruh yang jatuh tiap 1 Mei.

Merupakan salah satu agenda prioritas Komnas Perempuan tahun ini, materi yang disampaikan oleh Tiasri adalah terkait nasib pekerja rumah tangga (PRT). Sebagai tenaga kerja dalam sektor informal, Tiasri mengatakan bahwa PRT rentan sekali untuk mengalami bentuk-bentuk diskriminasi dan kekerasan di lingkungan kerjanya.

“Di Indonesia sendiri, tercatat jumlah PRT sebanyak 4,2 juta orang menurut statistik International Labour Organization (ILO) terbaru pada 2016, dan jumlahnya terus meningkat. Sekitar 84% dari mereka berjenis kelamin perempuan dan situasi mereka minim perlindungan hukum,” ujar pengurus Serikat Pekerja Pan Brother itu.

Berdasarkan riset dari JALA PRT, Tiasri memaparkan tiga fakta terkait kondisi PRT di Indonesia. Pertama, sebagian besar kontrak kerja PRT dilaksanakan secara lisan, sehingga adanya ketidakjelasan tanggung jawab dan pemenuhan hak PRT, serta membuka kerentanan untuk eksploitasi tenaga kerja. Kedua, upah yang didapatkan PRT rata-rata hanya berkisar Rp. 600.000 – 1.000.000, mengonfirmasi kajian ILO bahwa PRT yang menyatakan bahwa PRT menerima upah terendah dibanding pekerja dari sektor lainnya. Ketiga, PRT biasanya bekerja dalam jam kerja yang panjang tanpa kompensasi, melebihi standar waktu kerja 40 jam/minggu dan hal tersebut lebih rentan terjadi untuk PRT yang tinggal bersama Pemberi Kerja.

Dari sini Komisioner itu menyimpulkan bahwa terdapat urgensi untuk negara agar segera memenuhi pengakuan dan perlindungan hukum PRT melalui instrumen hukum setingkat undang-undang. Menurut kajian ILO, PRT merupakan pekerjaan yang sangat rentan untuk mengalami eksploitasi dan bentuk kekerasan akibat lingkungan kerjanya yang tertutup dari pengawasan pihak luar. Inklusifitas jenis pekerjaan PRT yang didominasi oleh perempuan sebagai jenis pekerja menurut Tiasri juga merupakan bentuk progresivitas dari implementasi kesetaraan gender di dunia ketenagakerjaan.

“Ditambah hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta prinsip keadilan dan kemanusiaan dalam Pancasila. Sebenarnya, DPR sudah memiliki RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah berkelindan sejak 2004 namun sampai sekarang masih belum gol menjadi UU,” terangnya.

Tiasri sangat menyanyangkan realita ini karena hal tersebut merupakan bukti keengganan legislator dalam menjamin pemenuhan HAM bagi kelompok PRT, padahal RUU PPRT merekognisi banyak sekali isu PRT yang sampai sekarang masih berkelindan. Tak hanya soal rekognisi dan proteksi HAM untuk PRT saja, RUU PPRT menurut Tiasri juga memberikan kejelasan relasi kerja yang dapat menguntungkan Pemberi Kerja dan PRT juga.

“Kondisi kerja tidak layak PRT harus segera diperbaiki sebagai bagian dari pemenuhan tanggung jawab Negara terhadap HAM Perempuan. Pengakuan dan perlindungan hukum demi perbaikan kondisi dan situasi kerja layak untuk PRT mendesak untuk dilakukan, maka dibutuhkan sebuah undang-undang untuk mengaturnya. Komnas Perempuan akan terus mendorong DPR agar segera mengesahkan produk hukum ini,” tutup Tiasri.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp