Kenali Bahaya dan Dampak Toxic Positivity

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Webinar BEM FIB UNAIR bersama tim Help Center. (Foto: Dokumen Pribadi)

UNAIR NEWS – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (BEM FIB UNAIR) gelar webinar kesejahteraan mahasiswa pada Jumat (7/05/2021) melalui Zoom. Webinar itu bertajuk “Peduli Kondisi Psikologis Mahasiswa Guna Memaksimalkan Proses Pembelajaran Jarak Jauh”.

Kesulitan saat pandemi dan pembelajaran jarak jauh terkadang memaksa kita untuk selalu berpikir positif, agar terhindar dari situasi yang semakin buruk. Namun, tidak selamanya “paksaan” berpikir positif memiliki dampak yang baik.

Seperti yang dipaparkan Dr. Margarita M. Maramis, dr. SpKJ(K), FISCM, pikiran positif terkadang menjadi toksik atau racun. “Apa-apa yang menjadi toksik akan meracuni kesehatan mental kita,” tuturnya. Hal itu disebut toxic positivity, atau suatu penyemangat yang menekan.

Toxic positivity merupakan cara tepat untuk menjalani hidup, sehingga menolak menerima apapun yang dapat memicu emosi negatif. Dikatakan menjadi toksik, ketika kita berlebihan untuk menyatakan perlunya gembira dan berpikir positif setiap hari sepanjang waktu sehingga menyangkal emosi negatif. “Meski terdengar menyenangkan, namun konsep berpikir positif tak sebaik yang digambarkan,” ungkapnya.

Kondisi tersebut (toxic positivity, Red) dapat memengaruhi diri sendiri maupun orang lain melalui ucapan-ucapan. Contoh dari ucapan toksik misalnya ‘pokonya apapun yang terjadi kamu gak boleh sedih!’ atau ‘kamu gak boleh nangis, kamu anak kuat!’ dan masih banyak lagi.

Pemaksaan penanaman kata-kata positif menjadikan emosi negatif menjadi tersembunyi. “Akhirnya kita gak peduli kesusahan orang lain, pokoknya kita mendukung dengan kata-kata positif tanpa melihat situasi,” imbuh dr. Margarita.

dr. Margarita mengatakan bahwa toxic positivity menyebabkan orang akan menjadi tertutup karena malas bercerita, sehingga tidak mempunyai tempat untuk mencurahkan perasaannya. Pada situasi yang lebih parah, kondisi tersebut dapat membuat seseorang melakukan tindakan bunuh diri karena merasa tidak ada yang mendukungnya.

“Kita mengenali dan menyatakan bahwa berbagai emosi yang kompleks itu dapat terjadi pada diri kita secara bersamaan dan membuat kita bingung. Kalau tidak direspon dengan teman-teman yang men-support akan menjadi tidak nyaman juga karena perasaan negatif tetap saja ada. Jadi kita perlu mendengarkan dan mempedulikan serta memahami, intinya di sini,” terang dr. Margarita.

Sementara itu, guna membantu mengatasi permasalahan psikologis sivitas akademika, UNAIR menyediakan lembaga help center yang berada di bawah Direktorat Kemahasiswaan UNAIR. Sebagai salah satu bentuk dari sosialisasi keberadaan help center, turut hadir dalam acara tersebut yakni Prof. Myrtati Dyah Artaria, Dra., MA., Ph.D selaku ketua pertama dari help center UNAIR. “Fokusnya secara formal ada untuk mahasiswa, tapi secara praktis ada untuk semua,” tutur Prof. Myrtati.

Dalam kegiatannya, tim help center UNAIR akan melakukan konseling dan pendampingan. Mereka memiliki beberapa psikolog dan juga psikiater, yang salah satunya yakni dr. Margarita.

Apabila ingin berkonsultasi dengan tim help center, sivitas akademika UNAIR dapat memanfaatkan berbagai media sosial yakni @Help_CenterUnair (instagram), 081615507016 (WhatsApp), helpcenter.airlangga@gmail.com  (surat elektronik), @HaCe Universitas Airlangga (facebook), dan @HelpCenterUnair (twitter). “Semua ini (pelayanan, Red) gratis,” pungkas Prof. Myrtati.

Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp