Perubahan Iklim, Gejala Insomnia, dan Kesehatan Mental di 25 Negara

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Dalwa Berita

Dampak fisik, sosial, dan ekonomi dari perubahan iklim yang ekstrim dapat berimplikasi pada tekanan psikologis baik dalam jangka panjang ataupun pendek. Dampak psikologis terutama pada kecemasan biasanya disebabkan karena meningkatnya tingkat liputan media tentang perubahan iklim di banyak negara (Schmidt, Ivanova, & Schäfer, 2013). Bagaimanapun, emosi yang berhubungan dengan kekhawatiran akan perubahan iklim ini dapat berdampak positif karena dapat menjadi penentu penting dari tindakan pro lingkungan dan dukungan untuk kebijakan iklim (Smith & Leiserowitz, 2014; Wang, Leviston, Hurlstone, Lawrence, & Walker, 2018).

Namun demikian, wacana terkini mengenai kecemasan akan perubahan iklim sebagian besar manifestasinya hanya berpusat di negara-negara Barat (BBC, 2019b, 2020; Clayton & Karazsia, 2020; Nugent, 2019). Akibatnya, signifikansi emosi yang berhubungan dengan iklim bagi kesehatan mental masih belum jelas dalam konteks global. Dalam penelitian ini, kami melakukan penyelidikan empiris lintas negara tentang hubungan antara emosi negatif terkait iklim dan kesehatan mental; serta bagaimana emosi tersebut berhubungan dengan kualitas tidur.

Orang yang benar-benar prihatin dan cemas dengan perubahan iklim umumnya secara emosional akan berbicara tentang perubahan negatif yang dirasakan dalam ruang fisik dan alam yang dihargai (Kielland & Larssen, 2019) serta keputusasaan tentang bagaimana kerugian yang dialami oleh generasi mendatang (BBC, 2019). Dengan meningkatnya frekuensi cuaca abnormal yang dapat dirasakan oleh orang-orang akibat perubahan iklim global, maka emosi negatif yang dirasakan dapat berdampak signifikan pada kesehatan mental seseorang yang khawatir terhadap isu ini.

Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menentukan bagaimana emosi negatif terkait iklim berhubungan dengan kesehatan mental di berbagai konteks nasional dan tidak hanya pada negara-negara Barat. Hipotesis riset kami adalah emosi negatif terkait iklim akan berhubungan negatif dengan kesehatan mental dan secara positif berhubungan dengan masalah tidur atau insomnia.

Metode dan Hasil

Hipotesis diuji dengan menggunakan dua survei cross-sectional. Survei pertama, dilakukan pada pertengahan hingga akhir tahun 2019 yang melibatkan beragam sampel individu dari 25 negara -termasuk Indonesia- dan mencakup semua benua. Total responden adalah 10,143 mahasiswa dengan rerata usia 23,4 tahun. Selain itu komposisi responden adalah pria sebanyak 33,7% dan wanita sebanyak 63,4%. Survei kedua dilakukan pada musim semi tahun 2020 dengan sampel penduduk di Norwegia (N = 1015; rerata usia 46,3 tahun, Pria = 47,7%, Wanita = 52,3%). Responden direkrut melalui penyedia panel penelitian komersial.

Hasil Survei Lintas Negara menunjukkan bahwa emosi negatif terkait iklim berkorelasi positif dengan gejala insomnia di semua negara yang diwakili dalam survei lintas negara. Hubungan ini signifikan di semua negara (termasuk Indonesia) kecuali Cina, Italia, Jepang, Malaysia, Norwegia, Slovakia dan Tanzania. Selain itu, hasil riset juga mengonfirmasi hipotesis selanjutnya di mana korelasi emosi negatif terkait iklim berbanding terbalik dengan kesehatan mental di seluruh data lintas negara. Namun demikian,  korelasi ini tidak signifikan di Italia, Jepang, Malaysia dan Tanzania.

Secara umum terdapat kesetaraan tingkat korelasi antara emosi negatif terkait iklim dan gejala insomnia di negara-negara barat dan non barat. Namun, terdapat perbedaan tingkat kekuatan korelasi emosi negatif terkait iklim terhadap kesehatan mental antara negara-negara Barat dan non-Barat di mana korelasi pada negara barat lebih kuat.

Selanjutnya, dalam hubungan antar variabel emosi negatif terhadap iklim dan dua variabel dependen lain (i.e. insomnia dan kesehatan mental) terdapat pula peran usia dan jenis kelamin. Usia berkorelasi secara negatif dengan gejala insomnia dan berhubungan secara positif dengan kesehatan mental.

Terdapat banyak bukti bahwa perubahan iklim mempengaruhi kesehatan mental secara langsung melalui bencana alam dan perubahan lingkungan secara bertahap. Misalnya, komunitas yang terkena dampak bencana ekologis seperti angin topan, banjir, kekeringan dan kebakaran hutan menunjukkan peningkatan tingkat gangguan stres pasca trauma (PTSD), kecemasan, depresi dan penyalahgunaan zat (Morganstein & Ursano, 2020). Peningkatan suhu juga dikaitkan dengan peningkatan angka bunuh diri dan rawat inap karena masalah kesehatan mental (Burke et al., 2018; Carleton, 2017; Obradovich et al., 2018). Temuan kami memperkuat pemahaman bahwa perubahan iklim menimbulkan tantangan bagi kesehatan mental melalui saluran lain selain paparan langsung sebagai dampak dari fenomena biofisik. Emosi negatif yang timbul dari kesadaran akan adanya ancaman saat ini dan masa depan yang disebabkan oleh perubahan iklim juga menjadi pemicu stres psikologis yang kuat bagi individu dan komunitas (Clayton, 2018; Cunsolo Willox et al., 2015). Pada beberapa komunitas yang sangat rentan, paparan bencana ekologi yang dikombinasikan dengan kecemasan tentang dampak perubahan iklim di masa depan menghasilkan tingkat tekanan psikologis yang secara signifikan merusak aspek-aspek kunci dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Gibson, Barnett, Haslam, & Kaplan , 2020).

Penulis: Dr. Rahkman Ardi

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://doi.org/10.1007/s12144-021-01385-4

Ogunbode, C.A., Pallesen, S., Böhm, G. et al. Negative emotions about climate change are related to insomnia symptoms and mental health: Cross-sectional evidence from 25 countries. Curr Psychol (2021). https://doi.org/10.1007/s12144-021-01385-4

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp