Ekstrak Daun Brotowali, Kandidat Biolarvasida Melawan Aedes aegypti

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: jawaposcom

Nyamuk adalah vektor yang dikenal dalam transmisi berbagai jenis penyakit berbahaya di masyarakat, khususnya demam berdarah. Berdasarkan data WHO tahun 2018, 390 juta kasus infeksi dengue terjadi. Terdapat dua jenis nyamuk yang menjadi vektor utama penyakit ini, Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini juga dikenal sebagai vektor berbagai penyakit seperti chikungunya, filariasis, yellow fever, encephalitis dan infeksi zika.

Nyamuk Aedes menyukai habitat air bersih. Penyakit yang ditransmisikan oleh nyamuk ini sulit untuk diberantas karena selalu ada tempat penampungan air di lingkungan. Masyarakat yang memiliki penampungan air buatan maupun alami seperti bak mandi, tambak, penampung hujan, vas bunga, ban bekas, bambu yang dipotong tidak sampai nodusnya, memiliki potensi besar terjangkit penyakit yang dapat disebarkan oleh Aedes.

Selama ini, masyarakat masih terfokus pada pemberantasan nyamuk dewasa menggunakan insektisida sintetik seperti penyemprotan (foging) dan abate. Sebenarnya, upaya kontrol vektor bisa dilakukan pada semua tahapan siklus hidup nyamuk, tidak hanya terbatas pada tahap dewasa. Tahap larva sejatinya lebih efektif untuk dikontrol karena larva relatif immobile, belum matur sehingga belum bisa menghasilkan telur, dan lebih terkonsentrasi daripada tahap dewasa.

Penyemprotan dengan insektisida sintetik secara berulang-ulang dalam jangka panjang dan penggunaan abate sintetik menyebabkan adanya resistensi pada vektor dan pencemaran lingkungan. Insektisida sintetik dibentuk dari senyawa kimia yang sulit didegradasi oleh alam. Insektisida sintetik juga dapat membunuh dan mengurangi kemampuan reproduksi organisme non-target seperti burung, ikan dan serangga lainnya. Selain itu, insektisida sintetik dapat meracuni kesehatan manusia atau hewan ternak.

Pemanfaatan komponen alami dari tumbuhan sebagai larvasida diharapkan mampu mengurangi kasus penyakit yang disebabkan oleh vektor tanpa menimbulkan dampak negatif. Larvasida yang berasal dari tumbuhan umumnya tidak memiliki efek samping, lebih aman bagi manusia, tersedia dalam kuantitas yang besar, dan bisa didegradasi secara alami sehingga tidak mencemari lingkungan.

Dalam penelitian ini, kami mengeksplorasi tumbuhan Brotowali, yang memiliki nama ilmiah Tinospora crispa. Brotowali adalah tumbuhan yang telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat tradisional dan jamu. Brotowali memiliki kemampuan anti-inflamasi, antioksidan, anti-parasitik dan anti-diabetik. Kita bisa menemukan bermacam-macam metabolit sekunder dalam tumbuhan ini, yaitu berupa alkaloid, terpenoid. lignan, sterol dan flavonoid. Tumbuhan lain yang memiliki kandungan metabolit sekunder seperti ini terbukti mampu menjadi biolarvasida bagi Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Bagian tumbuhan yang menjadi fokus kami adalah daun karena bagian ini kurang dimanfaatkan apabila dibandingkan dengan batangnya.

Untuk memastikan kandungan metabolit sekunder yang ada pada ekstrak daun Brotowali, kami melakukan uji fitokimia dan GCMS. Uji fitokimia memberikan data kualitatif ada atau tidaknya metabolit sekunder dalam ekstrak Brotowali, sedangkan GCMS akan memberikan data senyawa kimia yang ditemukan dalam ekstrak ini. Pengujian biolarvacidal LC50 dan LC90 yang merupakan konsentrasi letal yang dapat membunuh 50% dan 90% populasi larva nyamuk dilakukan untuk melihat kemampuan ekstrak ini dalam membunuh larva Aedes aegypti.

Hasil uji fitokimia menunjukkan hasil positif untuk komponen terpenoid/steroid, namun komponen lain seperti alkaloid, flavonoid, polifenol dan saponin tidak terdeteksi secara kualitatif dalam ekstrak ini. Terpenoid adalah senyawa kimia yang juga ditemukan di repellent alami seperti belimbing wuluh dan jeruk. Terpenoid berperan sebagai anti-feedant yang dapat mencegah larva untuk makan. Jika terpenoid masuk dalam tubuh larva, proses makan akan terganggu karena terpenoid menghambat reseptor pengecap makanan. Larva tidak mampu mengenali makanannya dan tidak dapat mencapai berat tertentu untuk masuk ke instar selanjutnya. Terpenoid ini juga memiliki fungsi yang mirip seperti adrenalin pada Vertebrata. Senyawa ini dapat menghalangi octopaminem, salah satu neurotransmitter larva.

Hasil uji GCMS menunjukkan adanya tiga senyawa dominan dalam ekstrak daun Brotowali yang memiliki potensi biolarvasida yaitu α-Methylphenylethylamine, Benzeneetahmine, dan Methyl L-alaninate. α-Methylphenylethylamine tergolong amphetamine. Konsentrasi amphetamine yang terlalu tinggi dapat menyebablan abnormalitas pada organ respirasi dan otot. Benzeneetahmine termasuk dalam golongan alkaloid. Komponen ini dapat berperan sebagai racun dan menghancurkan jaringan gut larva. Sedangkan Methyl L-alaninate adalah asam amino yang meskipun memiliki efek positif dalam proses persinyalan sel, namun dapat memunculkan stres oksidatif jika konsentrasinya tinggi.

Hasil uji biolarvasida menunjukkan nilai LC50 pada 1205,092 ppm dan LC90 pada 4104,596 ppm. Dari data ini, ekstrak daun brotowali dapat dikategorikan biolarvasida karena memiliki efek toksik. Mortalitas larva juga diamati setelah 24 jam paparan ekstrak dan hasil menunjukkan 98,33% larva mati.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa daun Brotowali dapat dijadikan kandidat biolarvasida yang efektif untuk menurunkan populasi larva Aedes aegypti. Alkaloid dan terpenoid yang menjadi senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak berpotensi menjadi senyawa bioaktif dalam membunuh larva. Kami berharap hasil penelitian ini memberikan alternatif pengganti insektisida kimia yang lebih aman dan ramah lingkungan.

Penulis: Manikya Pramudya

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://www.envirobiotechjournals.com/article_abstract.php?aid=10420&iid=301&jid=3

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp