Interseksionalitas dalam Perkawinan Anak menurut Kacamata Pakar Antropologi Gender UNAIR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pakar Antropologi Gender UNAIR Dr. Pinky Saptandari, Dra., MA. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Selamat menempuh hidup baru atau penderitaan baru? Itulah pertanyaan yang dilayangkan oleh Kementerian Pergerakan dan Kesetaraan Gender (KPKG) BEM FISIP UNAIR terkait eksistensi perkawinan anak. Perlu diketahui bahwa Indonesia masih mengemban status sebagai suatu negara dengan salah satu tingkat perkawinan anak yang tinggi, dengan data terbaru menunjukkan angka sebanyak 11,21%.

Pakar Antropologi Gender UNAIR Dr. Pinky Saptandari, Dra., MA., menjawabnya bahwa perkawinan anak merupakan suatu penderitaan baru bagi anak Indonesia, khususnya anak perempuan. Pinky menjelaskan bahwa terdapat interseksionalitas dalam isu perkawinan anak karena menyangkut berbagai aspek, seperti budaya, tafsir agama, dominasi ekonomi, politik, gender, hingga agama.

“Terdapat beberapa alasan mengapa perkawinan anak ini masih dipreservasi, namun alasan utamanya adalah hegemoni budaya patriarki. Narasi seperti kodrat perempuan itu di bawah laki-laki, jadi dependensi ekonomi harus kepada laki-laki dan posisi terluhur perempuan adalah untuk menikah dan menjadi ibu. Hal-hal seperti itu terkadang masih dilanggengkan,” tutur antropolog itu.

Pinky mengandaikan interseksionalitas dalam perkawinan anak tersebut bak bola salju. Berdasarkan data-data statistik, ia menjelaskan bahwa tingginya tingkat perkawinan anak di suatu wilayah pasti berbanding lurus dengan tingginya tingkat perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), gizi buruk, putus sekolah, hingga angka kematian ibu dan anak. Alumni Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa perkawinan anak dapat menghambat negara untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs).

“Jadi sederhananya apabila kita ingin meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas hidup yang sehat dan sejahtera, salah satu PR kita adalah eradikasi perkawinan anak terlebih dahulu,” jelas Ketua Pusat Studi Afrika UNAIR itu.

Namun realita berkata bahwa terjadi peningkatan perkawinan anak selama pandemi COVID-19 menyerang di Indonesia. Pinky menekankan bahwa terdapat perspektif pragmatik yang diambil oleh para orang tua dalam merespon kebiasaan baru selama pandemi, seperti sekolah/kuliah daring serta krisis ekonomi.

“Anak-anak sekolahnya ya hanya 2-4 jam saja tiap harinya karena daring, sisanya mereka pasti pacaran dan daripada orang tua resah, mending dinikahkan saja dan dapat mengurangi beban orang tua. Paradigma seperti itu juga digunakan ketika terdapat krisis ekonomi dalam suatu keluarga. Jalan-jalan pintas tersebut sering ditempuh oleh mereka yang kurang tahu bahwa itu sejatinya merupakan resep untuk penderitaan baru,” ujarnya.

Pengajar di FISIP UNAIR juga menjelaskan bahwa perkawinan anak juga merupakan bentuk pelanggaran hak anak karena ia memaksa anak untuk mengubah perannya yang seharusnya terfokus untuk pengembangan diri, menjadi seseorang yang harus mencari nafkah dan menghidupi suatu keluarga. Tak hanya itu, Pinky juga percaya bahwa perkawinan anak juga merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, namun seringkali partisipan dalam perkawinan anak tersebut tidak menyadari karena kelanggengannya selalu terjamin oleh narasi seperti berbakti kepada orang tua.

Dr. Pinky Saptandari, Dra., MA., memaparkan materi di atas melalui perhelatan webinar #BincangMengenal yang diadakan oleh KPKG BEM FISIP UNAIR pada Sabtu siang (24/4/2021). Kegiatan ini juga mengundang Co-Founder Tabu.id Alvin Theodorus L.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp