Apakah Keragaman Jender Dewan Komisaris Berdampak pada Pengungkapan Modal Intelektual di Indonesia?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Pasardana

Seperti kita ketahui bahwa dewan komisaris merupakan salah satu organ utama pada  struktur good corporate governance (GCG) perusahaan. Salah satu isu penting yang berkaitan  dengan dewan komisaris adalah keberadaan perempuan sebagai anggota dewan. Keberagaman  jender telah menjadi pembahasan utama, khususnya kesetaraan perempuan untuk dapat menempati  posisi-posisi penting di masyarakat modern di Indonesia. Di era knowledge economy, modal  intelektual juga berperan penting pada keberhasilan kinerja perusahaan. Sangatlah menarik untuk  mengetahui apakah keragaman jender dalam dewan komisaris memengaruhi pengungkapan modal  intelektual perusahaan. 

Kajian ini dilakukan pada perusahaan-perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek  Indonesia (BEI) untuk periode 6 tahun (2012 – 2017) yang secara konsisten masuk dalam IDX30  dan Pefindo25 Index. Data diambil dari Laporan Tahunan perusahaan-perusahaan yang menjadi  sampel kajian ini, yaitu sebanyak 28 perusahaan yang terdiri dari 21 perusahaan berkapitalisasi  besar dan 7 perusahaan berkapitalisasi kecil. Uji-T berpasangan digunakan untuk mengetahui perubahan signifikan dalam tingkat pengungkapan antar periode dan jenis perusahaan. Analisis  regresi linier digunakan untuk menguji pengaruh keragaman jender di dewan komisaris dan  beberapa variabel pengendali lain terhadap pengungkapan modal intelektual. 

Hasil kajian membuktikan bahwa di perusahaan dengan kapitalisasi besar, dari total 60  item modal intelektual sebanyak 53 item diungkapkan oleh perusahaan, yaitu modal struktural  (15), modal sumberdaya manusia (20), dan modal relasional (18). Modal struktural terdiri dari  sistem informasi, proses, database, kebijakan, kekayaan intelektual, budaya, pengetahuan tertanam  dalam struktur dan proses organisasi. Modal sumber daya manusia mengacu pada keterampilan/  kompetensi, pelatihan dan pendidikan, dan pengalaman serta karakteristik nilai tenaga kerja  organisasi (pengetahuan, kompetensi, keterampilan, pengalaman, pengetahuan, kapabilitas, dan  keahlian dari anggota manusia). Modal relasional terdiri dari semua jejaring dan atribut relasional perusahaan, seperti mitra, pemasok, klien, merek dagang, brand, dan reputasi.  

Berbeda dengan di perusahaan besar (IDX30), di perusahaan kecil (Pefindo25) ditemukan  lebih sedikit pengungkapan modal intelektual. Di perusahaan dengan kapitalisasi kecil, dari total  50 item modal intelektual, 41 item diungkapkan oleh perusahaan. Pada modal struktural, merek  dagang dan kepemimpinan mendominasi pengungkapan meski aspek organisasi budaya, sistem  informasi, dan R&D juga diungkapkan. Sementara itu, filosofi manajemen, sistem jaringan dan  aset intelektual paling sedikit diungkapkan. Pada modal sumber daya manusia, remunerasi dan  pelatihan lebih sering diungkapkan dibanding aspek bakat yang paling sedikit diungkapkan. Di  modal relasional merek, pelanggan, dan investor lebih sering diungkapkan dibanding kolaborasi  bisnis.

Tingkat dan kualitas pengungkapan modal intelektual tampak bervariasi secara signifikan  di antara perusahaan. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya kesadaran dan kurangnya mekanisme  yang memadai untuk mengukur modal intelektual. Ditambah lagi, pelaporan modal intelektual bersifat bukan wajib (mandatory), melainkan bersifat sukarela (voluntary) dan tidak ada kerangka  kerja yang diterima secara umum. Hal ini juga menyebabkan rendahnya pengungkapan modal  intelektual di Indonesia. Kajian ini menyimpulkan bahwa perusahaan dengan kapitalisasi besar  mengungkapkan modal intelektual lebih banyak dibanding perusahaan dengan kapitalisasi kecil.  

Apakah keragaman jender dalam dewan komisaris berpengaruh pada pengungkapan modal  intelektual perusahaan di Indonesia? Keragaman jender dalam dewan komisaris terbukti  memengaruhi pengungkapan modal intelektual di kelompok perusahaan dengan kapitalisasi kecil,  tetapi dampaknya ternyata negatif. Hal ini bisa jadi disebabkan karena keterpaksaan atau tekanan  masyarakat untuk menempatkan perempuan sebagai anggota dewan seperti juga dikemukakan  peneliti-peneliti sebelumnya, misalnya Ahern & Dittmar (2012) dan Triana dkk. (2013). Pada  kelompok perusahaan berkapitalisasi besar, keragaman jender tidak berpengaruh pada  pengungkapan modal intelektual perusahaan. Hal ini diduga disebabkan karena pengungkapan  modal intelektual di Indonesia tidaklah wajib (mandatory) melainkan hanya bersifat sukarela  (voluntary). 

Temuan-temuan kajian ini berimplikasi pada kebijakan investor mengenai proporsi  perempuan di dewan komisaris yang selama ini digaungkan oleh masyarakat. Penunjukan  perempuan yang semakin profesional di dewan komisaris seharusnya dapat meningkatkan kinerja  perusahaan melalui peran mereka dalam mengawasi perusahaan, khususnya pengelolaan modal  intelektual. Dalam beberapa penelitian terbukti bahwa peran perempuan di jajaran pimpinan  organisasi di Indonesia memang masih sedikit sehingga perlu ditingkatkan di masa mendatang. Temuan ini juga dapat menjadi masukan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat  aturan yang memberikan peran lebih besar pada kelompok perempuan dalam menduduki jabatan jabatan penting di perusahaan. 

Penulis: Mohammad Herli, Bambang Tjahjadi, Hafidhah Hafidhah 

Link jurnal: https://www.koreascience.or.kr/article/JAKO202100569388282.pdf

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp