Menilik Penggunaan Pestisida di Sektor Pertanian Indonesia dari Kacamata Hak Perempuan dan Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret Dekan FH UNAIR Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., salah satu penulis penelitian yang berjudul “Bisnis dan HAM di Sektor Pertanian Indonesia: Perempuan dan Anak dalam Bayang-Bayang Racun Kimia”. (Foto: Dok. Unair News)

UNAIR NEWS – FH UNAIR mengadakan seri webinar dengan tajuk “Bisnis dan HAM Perspektif Gender dan Hak Anak” pada Rabu siang (7/4/2021). Tema yang diusung dalam kegiatan ini didasarkan pada publikasi yang ditulis oleh Dekan FH UNAIR Iman Prihandono, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., dan Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji. Judul penelitiannya adalah “Bisnis dan HAM di Sektor Pertanian Indonesia: Perempuan dan Anak dalam Bayang-Bayang Racun Kimia”.

Dipaparkan secara kilat oleh Iman, ia menjelaskan bahwa latar belakang dari disusunnya penelitian ini adalah seabreknya jumlah petani perempuan dan anak di Indonesia. Berdasar pada data dari Badan Pusat Statistik, terdapat lebih dari 8 juta petani perempuan di Indonesia dan sebanyak 72% dari total pekerja anak (umur 10-17 tahun) bekerja di sektor pertanian.

“Namun nyatanya, perempuan dan anak ini sering menjadi sasaran pelanggaran HAM, seperti diskriminasi upah murah dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh penggunaan pestisida yang sangat beracun. Tulisan ini akan membahas dampak penggunaan pestisida bagi pekerja pertanian perempuan dan anak di Indonesia,” tutur pakar Bisnis dan HAM itu.

Dalam penelitiannya, Iman menyadur berbagai riset terkait dampak negatif pestisida terhadap kesehatan perempuan dan anak. Wanita usia subur (WUS) yang terpapar racun pestisida beresiko 1,314 kali lebih besar menderita gangguan fungsi hati dan 4,3 kali lebih rentan terkena penyakit hipotiroid. Tak hanya itu, ditemukan juga residu organoklorin pada air susu ibu (ASI) para WUS yang terpapar. Anak dari WUS yang terpapar juga rentan menderita berat badan lahir rendah (BBLR) dan gangguan perkembangan pada usia pra-sekolah. Racun pestisida ditemukan juga berdampak pada rentannya kasus goiter pada anak yang terlibat dalam kegiatan pertanian.

“Sebagai industri yang labour intensive tentu ini sangat memprihatinkan. Fakta lapangan terkait dampak pestisida tersebut menyimpulkan bahwa berjalannya industri sektor pertanian masih belum sejalan dengan tiga pilar utama dari United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGP),” tegas Iman.

Perlu diketahui, UNGP merupakan instrumen hukum internasional yang mengatur terkait aktivitas bisnis harus sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Tiga pilar utama yang dimaksud oleh Iman adalah protect, respect, dan remedy.

Protect disini dapat diartikan sebagai kewajiban negara untuk melindungi hak asasi manusia. Dalam konteks penelitian terkait pestisida, Iman menjelaskan bahwa Indonesia telah memiliki beberapa instrumen hukum yang meregulasi pestisida seperti UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Permentan No. 107 Tahun 2014 yang memberikan wewenang pengawasan pestisida terhadap Petugas Pengawas Pestisida.

“Namun Indonesia masih melegalkan beberapa jenis pestisida yang berbahaya seperti gliphosate, paraquat, dan neo-nicotinoids. Jenis pestisida ini sudah dilarang di banyak negara karena efek toksisitasnya,” jelas Iman.

Kewajiban perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia dalam pilar kedua, yakni respect, masih sangat minim implementasinya di Indonesia menurut penelitian Iman dan Sekar itu. Sekalipun perusahaan pestisida sudah memberikan pelatihan terhadap petani terkait penggunaan pestisida, namun tidak ada bentuk kontrol terkait perbandingan jumlah pelatihan dan jumlah pestisida yang terjual.

“Hukum Indonesia juga tidak mengatur terkait kewajiban audit bisnis dan hak asasi manusia pada industri pestisida, sehingga arah gerak untuk mengurangi resiko pestisida terhadap perempuan dan anak sulit untuk tercapai. Perusahaan juga tidak diberi kewajiban pengawasan terkait resiko pestisida ini, hanya pemerintah saja,” ujar alumni Macquarie University itu.

Terakhir ia mengkaji pilar ketiga UNGP yakni remedy atau pemulihan korban akibat aktivitas bisnis. Dalam konteks korban perempuan dan anak terhadap toksisitas pestisida, Iman menutup materinya dengan mengatakan bahwa masih terdapat seabrek tantangan yang harus dihadapi agar korban dapat memiliki akses pemulihan. Skema budaya patriarki yang sudah menjamur di masyarakat, akses laporan keberatan yang hampir mustahil karena dampak dari pestisida tidak dapat terlihat dalam waktu dekat, dan regulasi penyimpanan serta penggunaan pestisida yang tidak ketat.

Webinar ini juga mengundang berbagai pembicara lain seperti Guru Besar FKM UNAIR Prof. Mukono, Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras I., dan Ketua Sentrawangi Yatno Subandio. Kegiatan ini juga menggandeng kerjasama dengan ELSAM, Human Rights Law Studies UNAIR, dan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp