Kenali Perbedaan Buta, Katarak, dan Glaukoma Sejak Dini

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
dr. Nurwasis, dr. Sp.M(K) selaku staf Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya. (Foto: Fauzia Gadis Widyanti)

UNAIR NEWS – Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) gelar webinar Ngobrol Santai dengan Ahlinya, pada Minggu (4/04/2021). Dilangsungkan secara virtual, acara itu mengusung tema “Mengenal dan Mengelola Penyakit Katarak dan Glaukoma untuk Menghindari Kebutaan.”

dr. Nurwasis, dr. Sp.M(K) selaku staf Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya mengatakan bahwa kebutaan bukan sesuatu yang tidak bisa melihat sama sekali, melainkan ketika seseorang diberi kacamata maksimum, dia tidak mencapai 6/60 atau 3/60. “Prinsip yang pertama harus kita ingat: buta adalah bukan sesuatu yang tidak bisa melihat sama sekali,” ucapnya.

“Jadi kategori buta menurut WHO (World Health Organization), salah satunya adalah apabila seseorang diberi fraksi maksimal (kiri-kanan) diberi kacamata maksimum, itu tidak bisa melewati 6/60. Kalau misalnya dikoreksi maksimum itu tidak bisa mencapai 6/60 atau di Indonesia 3/60, itu sudah kategori buta,” tambah dr. Nurwasis. 

Menurut dr. Nurwasis, WHO telah membagi kategori penglihatan ke dalam tiga tingkat. Dikatakan normal, apabila tajam penglihatan mencapai 6/6 sampai 6/18. Sementara itu, penglihatan seseorang menjadi rendah apabila kurang dari 6/18 hingga 6/60 atau 3/60 (Indonesia, Red) serta kurang dari itu dapat dikategorikan buta. 

Namun apabila tidak bisa melihat sama sekali, menurutnya berarti ada pemutusan proses dalam transmisi penglihatan. Namun demikian sangat jarang proses transmisi penglihatan yang terjadi pemutusan secara keseluruhan, karena ada backup (cadangan) yang sangat kuat dari tulang-tulang dalam organ kepala kita.

“Paling sering adalah suatu kelainan di bola mata atau kelainan di dalam otak itu sendiri yang bisa membuat transmisi dari bola mata ke otak itu terputus. Bagaimana transmisi itu bisa memutus dari objek ke dalam otak kita,” imbuh dokter lulusan FK UNAIR ini.

Selain itu, Ia juga memaparkan apabila kebutaan telah mencapai nol atau tidak bisa melihat apa-apa, maka tidak ada pula yang dapat diperbuat. Hal itu disebabkan oleh saraf penghubung mata dan otak sangat panjang dan tidak dapat diregenerasi.

“Oleh karena itu, kita harus berhati-hati menghadapi kondisi tersebut. Terutama kalau pada malam hari, ini adalah faktor yang disebut glaukoma,” jelasnya.

Selanjutnya terkait kebutaan yang disertai lensa mata menjadi keruh atau putih, maka disebut sebagai katarak. dr. Nurwasis mengatakan bahwa katarak sejatinya tidak dapat dicegah namun dapat diobati dengan cara dioperasi. Operasi dilakukan ketika sudah terindikasi imature sub-normal atau keadaan belum matang yang berada pada tingkat di bawah normal.

Sejenis dengan katarak, terdapat pula glaukoma yang didefinisikan sebagai penggaungan saraf optik. Dalam glaukoma, dapat dilakukan pemeriksaan sudut, lapang pandang, dan sebagainya.

Sama halnya dengan katarak, glaukoma merupakan penyakit degenerative dan bersifat permanen. Glaukoma mengganggu keluasan pandangan, sedangkan katarak menyerang pada ketajaman pandangan.

Di akhir dr. Nurwasis juga memberikan cara mudah melakukan pemeriksaan mata. Pemeriksaan paling dasar dan mudah adalah dengan cara disenter dari samping. “Kalau normal, tidak ada shadowing atau gelap, jadi semua terang,” ujarnya.

Penulis: Fauzia Gadis Widyanti

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp