Hari Tuberkulosis Sedunia, Epidemiolog UNAIR : Selama Pandemi Pelayanan Tuberkulosis Tidak Boleh Kendor

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Merdeka.com

UNAIR NEWS – Peringatan Hari Tuberkulosis (TBC) Sedunia pada tanggal 24 Maret 2021 mengusung tema The Clock is Ticking. Merujuk tema tersebut, Indonesia mengambil tema nasional “Setiap Detik Berharga, Selamatkan Bangsa dari Tuberkulosis”.

Pada peringatan Hari TBC Sedunia tersebut, seluruh negara termasuk Indonesia masih dihadapkan dengan kondisi pandemi Covid-19. Menanggapi itu, Dr. M. Atoillah Isfandiari, dr., M.Kes, pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) mengatakan, bahwa pandemi membuat masyarakat menjadi enggan berobat ke fasilitas kesehatan karena takut tertular Covid-19. Sehingga, terdapat kemungkinan seseorang yang memiliki gejala TBC menjadi tidak terdeteksi.

Dr. M. Atoillah Isfandiari, dr., M.Kes, pakar epidemiologi FKM UNAIR. (Sumber: Dokumen Pribadi)

Awal pandemi, sambung Dr. Ato, beberapa pelayanan kesehatan dibatasi termasuk pelayanan TBC sehingga penderita TBC menjadi kesulitan dalam mengambil obat. Hal tersebut meningkatkan risiko ketidakpatuhan meminum obat dan mengakibatkan penderita menjadi resisten (kebal) terhadap obat.

“Pandemi juga membuat seluruh tenaga kesehatan berfokus pada penanganan pandemi, sehingga berisiko pada kurangnya jumlah SDM yang memberikan pelayanan TBC,” ucapnya pada Selasa (23/03/21).

Meski pandemi masih belum berakhir, Dr. Ato merekomendasikan agar penderita TBC tetap rutin berobat ke fasilitas kesehatan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Dr. Ato juga menekankan perlunya peningkatan kewaspadaan bagi tenaga kesehatan ketika melakukan pemeriksaan dahak karena terdapat ancaman tertular TBC dan juga berisiko tertular Covid-19.

“Pelayanan TBC ini tidak boleh kendor, karena kurang lebih dampak yang ditimbulkan TBC dari aspek mortalitasnya itu hampir tinggi. Mungkin Covid-19 penularannya lebih cepat namun mortalitas (jumlah kematian, Red) akibat TBC itu juga termasuk tinggi,” jelasnya.

Lebih lanjut, Dr. Ato menambahkan terdapat tiga gejala penting TBC yang perlu diketahui dan diwaspadai oleh seluruh masyarakat yakni yang pertama mengalami penurunan nafsu makan secara drastis. Kemudian diikuti dengan penurunan berat badan secara drastis pula dan biasanya mengalami penurunan sebanyak 3 kg dalam sebulan. Gejala terakhir yaitu mengalami keringat dingin pada malam hari.

“Jadi bukan satu gejala muncul maka langsung diindikasikan TBC, tetapi ketika serangkaian tiga gejala itu muncul baru dapat dicurigai seseorang menderita TBC,” paparnya.

Keluarga juga dapat berperan untuk mencegah penularan TBC dengan menciptakan lingkungan rumah yang sehat. Memperhatikan jumlah ventilasi, paparan sinar matahari harus didapatkan dalam jumlah cukup dan perlu adanya sirkulasi udara yang baik. Asupan nutrisi, lanjut Dr. Ato, juga perlu diperhatikan. Seseorang dengan nutrisi yang kurang baik lebih mudah untuk tertular TBC.

Terakhir, Dr. Ato berharap kedepannya masalah klasik terkait TBC seperti stigma pada penderita dapat segera dihilangkan dari masyarakat. Pelayanan serta kebutuhan logistik TBC juga perlu mendapat perhatian agar kepatuhan meminum obat bagi penderita TBC terjamin.

“Edukasi tentang risiko penularan TBC yang berhubungan dengan lingkungan rumah juga perlu dioptimalkan,” tutupnya. (*)

Penulis: Dita Aulia Rahma

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp