Bagaimana Responden di 57 Negara Menilai Kepatutan Respon Atas Pelanggaran Norma?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Sumber: TirtoID

Penegakan norma penting dilakukan untuk menyelesaikan konflik dan mendorong kerja sama antar-individu. Namun, beru sedikit yang telah diketahui tentang bagaimana respon yang diberikan individu pada perilaku yang melanggar norma dapat bervariasi antar-budaya dan lintas-domain. Dalam studi yang telah dipra-registrasi sebelumnya di 57 negara (menggunakan convenience sample 22.863 mahasiswa dan non-mahasiswa), kami mengukur persepsi kesesuaian berbagai respon terhadap pelanggaran norma dan perilaku sosial yang tidak biasa. Temuan kami menyorot adanyai universalitas respon sekaligus variasi antar-budaya. 

Norma merupakan gagasan kolektif tentang perilaku yang dianggap baik dan buruk, memberikan pengaruh yang kuat pada bagaimana cara individu berperilaku. Namun, tidak semua orang mematuhi norma-norma ini, yang dapat menimbulkan dilema bagi mereka yang menyaksikan perilaku pelanggaran norma tersebut dan harus memutuskan apakah akan menanggapinya dengan memberikan sanksi. Di satu sisi, penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa norma yang mendorong sanksi informal sangat penting untuk mempertahankan kerja sama dan ketertiban sosial dalam suatu kelompok. Di sisi lain, penggunaan sanksi yang tidak tidak tepat dapat mengancam keharmonisan sosial dengan menciptakan konflik yang dapat berpotensi merugikan dengan menimbulkan perpecahan. Dengan demikian, kerjasama dan kerukunan sosial bergantung pada norma tentang penggunaan sanksi informal. Norma yang berisi tentang penegakan norma disebut metanorms. Terlepas dari perannya yang amat penting, sangat sedikit yang sudah diketahui tentang bagaimana metanorms beroperasi dalam kehidupan sehari-hari, apalagi secara lintas-budaya.

Untuk membandingkan ketepatan berbagai bentuk sanksi di seluruh masyarakat, kami mempelajari peserta di 57 negara, termasuk 7 negara Afrika, 10 negara Amerika, 18 negara Asia, 21 negara Eropa, dan Australia. Studi ini mencakup 10 skenario dasar sebagai stimulus, yang sebagian besar diambil dari studi sebelumnya tentang pelanggaran norma. Stimulus ini mencakup berbagai domain pelanggaran norma, animasi, dan skenario verbal. Satu skenario menggambarkan pelanggaran norma mutual-cooperation tentang sumber daya kolektif. Empat skenario menggambarkan perilaku yang secara normatif tidak pada tempatnya, seperti mendengarkan musik menggunakan headphone di pemakaman. 

Lima skenario “metaviolations” tersebut mendeskripsikan respons yang berpotensi terlalu kasar terhadap perilaku pelanggaran norma, seperti seseorang yang menanggapi penghinaan verbal dengan konfrontasi fisik. Untuk masing-masing dari 10 skenario, peserta menilai kesesuaian perilaku pelanggaran norma serta kesesuaian empat respon berbeda terhadapnya; konfrontasi verbal (marah-marah secara verbal kepada pelanggar norma), bergosip (berbicara dengan orang lain tentang pelanggar norma), mengucilkan secara sosial (menghindari pelaku pelanggar norma di masa depan), dan non-tindakan (tidak melakukan apa-apa/dibiarkan saja), dengan total 10 × 5 = 50 kombinasi skenario-respon.

Penelitian, termasuk lima hipotesis utama yang telah didaftarkan sebelumnya di Open Science Framework (osf.io/qg6xy).

Hipotesis 1: Apabila perilaku pelanggaran masih dianggap “pantas secara sosial”, maka partisipan akan semakin termotivasi untuk merespons dengan tidak melakukan apa-apa, namun apabila pelanggaran dianggap lebih berat, maka partisipan akan cenderung merespon dengan mengkonfrontasi, melakukan pengucilan sosial, atau bergosip, dan ini akan konsisten di seluruh negara. Hasil penelitian mengkonfirmasikan bahwa sanksi informal pada dasarnya secara universal dipandang kurang tepat untuk digunakan jika pelanggaran norma dianggap lebih berat.

Hipotesis 2: Variasi yang terjadi antar-negara mengenai persepsi atas kesesuaian sanksi informal akan tampak di berbagai domain pelanggaran norma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis ini terkonfirmasi, bahwa para responden di berbagai negara yang berbeda setuju bahwa perilaku pelanggaran yang lebih berat harus diberi sanksi yang lebih tegas, yaitu dikonfrontasi secara verbal, dikucilkan secara sosial, dan menjadi bahan gosip, dan setuju bahwa pelanggar norma yang berat tidak seharusnya dibiarkan/didiamkan saja.

Hipotesis 3: Sehubungan dengan kekhususan fungsi sanksi yang berbeda, kami memiliki tiga sub-hipotesis yang sebenarnya saling bertolak belakang. Dengan membandingkan berbagai bentuk sanksi informal, variasi antar-negara dalam penilaian kesesuaian pemberian sanksi akan menunjukkan baik (A) konsistensi, (B) saling melengkapi, atau (C) independensi. Metanorms untuk konfrontasi fisik dan pengucilan sosial menunjukkan tingkat konsistensi yang tinggi (yaitu, berkorelasi positif), tetapi sebagian besar independen dari metanorms untuk konfrontasi verbal. Secara mencolok, metanorms untuk gosip menunjukkan saling melengkapi yang kuat (yaitu, korelasi negatif) dengan metanorms untuk semua sanksi lainnya.

Hipotesis 4: Di negara-negara di mana sanksi yang diberikan dipandang sesuai untuk diberikan, maka sanksi tersebut akan cenderung lebih sering digunakan. Hipotesis ini merupakan usaha untuk mengetahui kesahihan dari metanorms. Sebagaimana norma memengaruhi perilaku, metanorms diharapkan memengaruhi cara individu memberikan sanksi pada pelanggaran norma. Berdasarkan temuan penelitian, hipotesis ini didukung oleh data, dimana frekuensi penggunaan sanksi berkorelasi kuat dengan skor evaluasi atas kesesuaian/kepantasan sanksi tersebut diberikan.

Hipotesis 5: Menghukum pelanggar norma secara langsung akan dipandang lebih pantas di negara-negara yang memiliki nilai (a) lebih rendah pada indulgensi, (b) lebih tinggi pada jarak kekuasaan, (c) lebih rendah pada nilai individualisme dan otonomi individu, (d) lebih tinggi pada keketatan, (e) lebih tinggi pada ancaman yang dialami, (f) lebih rendah pada penilaian moral emansipatif, (g) lebih tinggi pada sikap pro-kekerasan, (h) lebih tinggi pada prevalensi patogen, (j) lebih rendah pada kesetaraan gender, dan (j) lebih rendah pada median pendapatan. 

Untuk sanksi berupa konfrontasi fisik, semua korelasi menunjukkan arah yang diprediksi. Hasil yang sangat kuat (r> 0,50) diperoleh variabel jarak kekuasaan, individualisme, otonomi individu, emancipation moral judgement, keketatan norma, skor kesetaraan gender di tingkat negara, dan median pendapatan. Sedangkan temuan penelitian untuk konfrontasi verbal cenderung lebih lemah dan dua korelasi (untuk keketatan norma dan sikap pro-kekerasan) cenderung lebih lemah dan berarah sebaliknya (negatif). Jadi, Hipotesis 5 didukung oleh data, namun ditemukan jauh lebih kuat untuk konfrontasi fisik daripada konfrontasi verbal, mengimplikasikan bahwa ada perbedaan antara keduanya.

Secara umum, kami menemukan hubungan negatif yang universal antara penilaian kesesuaian pelanggaran norma dan penilaian kesesuaian tanggapan dalam bentuk konfrontasi, pengucilan sosial dan gosip. Selain itu, kami menemukan variasi negara dalam kesesuaian sanksi konsisten di berbagai pelanggaran norma tetapi tidak di berbagai sanksi. Secara khusus, di negara-negara di mana penggunaan konfrontasi fisik dan pengucilan sosial dinilai kurang patut, gosip dinilai lebih patut.

Penulis: Rizqy Amelia Zein

Eriksson, K., Strimling, P., Gelfand, M., Wu, J., Abernathy, J., Akotia, C. S., … & Van Lange, P. A. (2021). Perceptions of the appropriate response to norm violation in 57 societies. Nature Communications, 12(1), 1-11. https://www.nature.com/articles/s41467-021-21602-9

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp