Peran Akademisi untuk Membangun Kesadaran Gender Kolektif

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Suasana sesi talkshow yang digelar oleh AII Chapter UNAIR bersama Dr. Pinky Saptandari, Dra.,MA.. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Hari ketiga (10/3/2021) dari seri talkshow kilat Amnesty International Indonesia (AII) Chapter UNAIR mendatangkan narasumber Dr. Pinky Saptandari, Dra.,MA., seorang antropolog senior UNAIR. Seri talkshow ini diadakan dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret. Perhelatan yang diadakan AII Chapter UNAIR ini mengusung tema besar yakni “Celebrating Women Human Rights Defenders”.

Dalam sesi yang berdurasi hampir satu jam itu, Pinky menceritakan bahwa paham feminisme mungkin merupakan paham yang mengalami banyak penolakan dan kesalahpahaman dalam sejarah karena selalu bersinggungan dengan norma-norma budaya dan agama yang telah melanggengkan adanya budaya patriarki. Bahkan seringkali muncul kesalahpahaman bahwa isu gender itu eksklusif merupakan isu perempuan, padahal justru sebaliknya. Pinky mengatakan bahwa isu gender itu menyebar hampir di seluruh aspek kehidupan manusia, entah itu dalam isu kepolisian, isu kesehatan, dan isu-isu lainnya. Jadi hendaknya, pergerakan dalam mewujudkan kesetaraan gender itu inklusif, bukan eksklusif.

“Disinilah hadir peran dari perguruan tinggi. Peran perguruan tinggi hendaknya sebagai contoh baik dalam membangun suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan dan berkesetaraan gender. Perlu dibongkar mindset itu bahwa isu gender itu isu perempuan saja,” tutur alumni Universitas Indonesia itu.

Pinky menjelaskan bahwa langkah yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi dalam perubahan mindset tersebut adalah memasukkan studi-studi gender dalam kurikulum mahasiswa. Untuk FISIP UNAIR dimana ia mengajar, mata kuliah terkait studi gender sudah terdapat di kurikulum dan peminatnya tidak hanya terbatas dalam perempuan saja. Bahkan tidak sedikit juga mahasiswa yang menyelesaikan studinya dengan penelitian tentang gender.

“Jadi peran akademisi adalah sebagai jembatan untuk membangun kesadara gender kolektif. Istilah bahasa jawanya adalah nyangoni mahasiswa dengan ilmu-ilmu kesetaraan tersebut agar dapat diaplikasikan ke dunia kerja. Ini juga menjadi tambah relevan apabila mereka memilih jalan sebagai politikus,” ujar Ketua Pusat Studi Afrika UNAIR itu.

Dalam konteks perempuan dan relasinya dengan budaya, Pinky mengatakan bahwa budaya itu terdapat dua sisi. Budaya dapat melindungi perempuan, namun juga dapat meminggirkan peran mereka. Untuk itu, diperlukannya konteks dalam pemaknaan suatu budaya agar peran perempuan tidak dipinggirkan atau inferior. Ia mencontohkan maksud tersebut dengan skenario kasus sederhana terkait budaya suami istri yang bekerja di ladang.

“Misal si suami dan istri sedang berjalan menuju ladang. Kemungkinan besar si istri akan membawa bayi (apabila punya bayi) dan makan siang beserta minumannya. Namun si suami membawa apa? Membawa parang saja, itupun parangnya terkadang diselipkan di sarung. Jadi tangan si laki-laki itu lebih bebas daripada si perempuan, namun mengapa kok perempuan yang memikul semua bawaannya itu perempuan?” jelasnya.

Pertanyaan ini diliarkan oleh Pinky pertama kali saat pengujian bukunya kepada suatu komunitas masyarakat di Palembang. Jawaban yang dilontarkan masyarakat adalah bahwa laki-laki berperan sebagai pelindung apabila ada hewan buas atau apabila harus menebas semak belukar untuk menuju ladang. Namun, Pinky menjawab bahwa tentu jawaban itu sudah tidak relevan dengan zaman sekarang karena faktor tersebut sudah jarang sekali terjadi di dunia modern.

“Oleh karena itu, perubahan mindset masyarakat adalah dihadapkan dengan realitas budayanya sendiri. Budaya tidak dapat selalu dikontekskan dengan masa lalu, namun juga masa kini,” tegasnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp