PurpleCode Collective Tekankan Pentingnya Presensi Feminisme di Internet

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Potret suasana talkshow kilat pada Selasa (9/3/2021) yang diadakan oleh AII Chapter UNAIR bersama PurpleCode Collective yang diwakili oleh Amalia Puri Handayani (kanan) dalam rangka merayakan Hari Perempuan Internasional. (Foto: SS Zoom)

UNAIR NEWS – Masih dalam suasana perayaan Hari Perempuan Internasional, Amnesty International Indonesia (AII) Chapter UNAIR merilis seri kedua dari talkshow kilat yang mengupas tuntas tema besar yakni “Celebrating Women Human Rights Defenders”. Video ini dirilis melalui Instagram TV pada Selasa sore (9/3/2020) dan mengundang Amalia Puri Handayani selaku perwakilan dari PurpleCode Collective.

Perlu diketahui bahwa PurpleCode Kolektif merupakan gerakan kolektif yang bergerak dalam isu-isu terkait teknologi dan feminisme. Kedua topik tersebut dihubungkan dikarenakan fakta lapangan bahwa kekerasan seksual dan berbagai diskriminasi atau pembatasan hak terhadap perempuan atau gender lainnya itu marak terjadi di ranah digital. Tujuan utama mereka adalah untuk meningkatkan awareness terhadap pentingnya feminisme di internet dan mendampingi penyintas dari Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Berdiri sejak 2015, Amalia menjelaskan bahwa PurpleCode Collective menyadari bahwa teknologi, khususnya internet, yang seyogianya menyediakan wadah tempat untuk berekspresi dan mengutarakan pendapat malah memiliki efek samping: yakni budaya patriarki dan kekerasan terhadap perempuan seakan terreproduksi dalam ranah digital.

“Terdapat suatu urgensi untuk mengapa kita membicarakan terkait isu feminisme dalam teknologi ini. Apabila kita menilik Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020 saja, tingkat KBGO meningkat sebanyak 300% di Indonesia karena pandemi COVID-19,” jelas alumni Erasmus University itu.

Amalia menceritakan bahwa tantangan yang harus dilewati dalam menyuarakan isu-isu tersebut adalah kompleksnya kultur patriarki yang masih menjamur di Indonesia, dimana perempuan selalu mengalami banyak sekali pembatasan daripada laki-laki. Belum lagi ditambah nihilnya payung hukum yang mengatur terkait KBGO di Indonesia karena RUU PKS yang masih belum saja gol. Menurutnya, nihilnya payung hukum ini dapat juga diperburuk apabila aparat penegak hukum yang sekiranya menerima laporan terkait KBGO atau bentuk kekerasan seksual lainnya itu memiliki paradigma yang patriarkis atau bahkan misoginis.

“Semua ini berdampak terhadap bagaimana KBGO rentan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Karena kekerasannya hanya terjadi dalam ranah daring, seringkali perasaan negatif yang menyertai kekerasan itu diremehkan atau dikucilkan. Belum lagi budaya victim blaming yang malah menyalahkan diri korbannya daripada pelakunya. Bahkan dalam beberapa kasus, korban malah yang mengalami kriminalisasi,” ujar pakar Studi Gender itu.

Langkah yang tepat untuk melawan KBGO ini menurut Amalia adalah kesadaran akan konsep bahwa ‘gawai kita adalah tubuh kita adalah hak kita’. Ia menjelaskan bahwa kita harus memiliki kontrol penuh atas gawai yang kita miliki, entah itu dalam bentuk privasi, koneksi, dan ekspresi diri. Ia juga menuturkan terkait pentingnya bergandengan tangan dalam memperjuangkan isu KBGO ini karena sejatinya bahwa ini merupakan gerakan kolektif yang tidak bisa dilawan secara individu.

“Apabila kita memahami konsep tersebut, kita dapat memvalidkan perasaan kita apabila dalam ranah digital kita mengalami KBGO. Bahwa hal tersebut hendaknya tidak dapat dipandang sebelah mata dan harus menjadi concern utama kita,” tutupnya.

Penulis: Pradnya Wicaksana

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

newsunair

newsunair

https://t.me/pump_upp