Korupsi merupakan masalah yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi 2018, Indonesia menempati peringkat 89 dari 180 negara. Nilai yang diperoleh Indonesia adalah 38 pada skala 0 – 100; semakin rendah nilainya, semakin korup negaranya dan sebaliknya. Pada 2017, Indonesia menempati peringkat 96 dengan nilai 37. Kenaikan satu poin di CPI tidak mengindikasikan beratnya penegakan hukum tentang pemberantasan korupsi. Kondisi ini perlu dijadikan bahan evaluasi bagi aparat penegak hukum dalam menyusun strategi pemberantasan korupsi (Mamoch dkk .: 2014, hlm. 302-317).
Perubahan lingkungan organisasi Polri yang semakin kompleks dan kompetitif menuntut setiap organisasi dan perusahaan yang terlibat semakin tanggap untuk dapat bertahan dan terus berkembang. Untuk mendukung perubahan organisasi ini, perlu dilakukan perubahan individu dalam organisasi itu sendiri (Campbell & Armstrong: 2013). Proses menyelaraskan perubahan organisasi dengan perubahan individu tidaklah mudah. Pemimpin adalah panutan dalam organisasi, sehingga perubahan harus dimulai dari tingkat paling atas (Jones: 2014, hlm. 129-141). Organisasi, oleh karena itu, membutuhkan pemimpin reformis yang dapat menjadi penggerak perubahan organisasi. Selama ini kepemimpinan menjadi topik yang menarik untuk dipelajari dan diteliti karena paling sering diamati tetapi kurang dipahami (Martin et al .: 2017).
Fenomena gaya kepemimpinan di Polri, khususnya dalam penanganan penyidikan kasus korupsi yang dilakukan oleh Polda Jawa Timur menjadi masalah yang menarik dan utama dalam kehidupan politik dan kehidupan bernegara. Di bidang korupsi, gaya kepemimpinan memiliki pengaruh yang kuat terhadap jalan dan kelangsungan hidup Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi Polda Jawa Timur. Peran kepemimpinan sangat strategis dan penting dalam suatu organisasi karena merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam pencapaian misi, visi, dan tujuan suatu organisasi. Ini merupakan tantangan terkait dengan pengembangan strategi organisasi yang jelas yang bergantung pada organisasi di satu sisi dan kepemimpinan di sisi lain (Neyroud: 2011). Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil akibat maraknya korupsi, hal ini bisa menjadi sumber kendala bagi manajemen dalam mengusut korupsi.
Menurut Dalakoura (Dalakoura: 2010), pemimpin yang baik selalu memotivasi orang- orangnya agar dapat memberikan dampak positif terhadap prestasi yang diperoleh melalui pekerjaannya. Tanpa kepemimpinan, hubungan antara tujuan individu dan tujuan organisasi mungkin tidak searah. Konsekuensinya, setiap pemimpin wajib memberikan perhatian yang serius dalam membina, menggerakkan dan mengarahkan seluruh calon karyawan di lingkungannya. Hal ini untuk mewujudkan stabilitas organisasi dan untuk meningkatkan produktivitas yang berorientasi pada tujuan organisasi (Igboin: 2016, pp. 142-160). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan mengidentifikasi kepemimpinan dalam tim penyidik dalam penanganan penyidikan kasus korupsi di Sub Direktorat III Tindak Pidana Korupsi Polda Jawa Timur
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengidentifikasi pimpinan tim penyidik dalam penyelenggaraan penyidikan kasus korupsi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dipadukan dengan metode penelitian deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses yang digunakan oleh pemimpin untuk mengarahkan organisasi dan memberikan contoh perilaku bagi bawahannya dalam tim investigasi.
Penulis: M.W.Latif, S. Adam, Bagong S
Link terkait tulisan di atas: Utopía y Praxis Latinoamericana publica bajo licencia Creative Commons Atribución-No Comercial-Compartir Igual 4.0 Internacional (CC BY-NC-SA 4.0). Más información en https://creativecommons.org/licenses/by-nc -sa/4.0/
