Fenomena Perkawinan Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi perkawinan anak di Indonesia. (Sumber: unicef.org)

Problem Perkawinan Anak

Prevalensi perkawinan anak di Indonesia meningkat lebih dari dua kali lipat dalam tiga dekade terakhir, seperenam dari perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun atau 340.000 anak setiap tahunnya. Angka ini menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Menurut UNICEF, Indonesia menduduki peringkat ke 15 negara dunia dalam jumlah pernikahan anak pada perempuan di bawah umur 18 tahun yaitu dengan persentase 24,2 persen.

Fenomena tingginya pernikahan anak juga terjadi di tingkat Kabupaten Grobogan. Menurut Badan Pusat Statistik, usia perkawinan anak perempuan usia 17-18 tahun di Kabupaten Grobogan tahun 2013 cukup tinggi 28,55 persen, dan usia dibawah <17 tahun sebesar 34,95 persen. Sedangkan jika dilihat dari data Dinas Keluarga Berencana Kabupaten Grobogan, jumlah perkawinan usia anak di Grobogan tahun 2012 berjumlah 3.142 kasus mengalami kenaikan menjadi 4.072 kasus di tahun 2014.

Faktor Pernikahan Anak

Faktor pernikahan anak yang paling dominan adalah karena telah terjadi kehamilan sebelumnya, yang berarti bahwa norma sosial telah menurun di kalangan masyarakat, seiring dengan globalisasi teknologi informasi. Banyak situs porno sangat mudah diakses yang berakibat banyak siswa yang menganut pola hidup pergaulan bebas, sehingga mereka melakukan seks sebelum menikah.

Faktor dominan lainnya adalah pendidikan yang rendah. Sebagian besar mereka yang berstatus nikah muda adalah berpendidikan SMP ke bawah. Menikahkan anaknya adalah salah satu jalan untuk melepaskan tanggungjawab sebagai orang tua.

Faktor berikutnya adalah kemiskinan. Tingkat kemiskinan Kabupaten Grobogan pada tahun 2015 adalah 13,68%. Data menunjukkan bahwa angka pernikahan dini banyak berasal dari dari daerah miskin, yakni Kecamatan Ngaringan, Kecamatan Pulokulon dan Kecamatan Gabus. Fakta ini makin memperkuat dugaan bahwa bisa jadi keluarga yang tidak mampu menikahkan anak mereka di usia dini sebagai salah satu upaya  melepaskan sebagian beban ekonominya.

Dampak Perkawinan Anak

Perkawinan pada usia terlalu muda pada anak perempuan menyebabkan kehamilan dan persalinan dini, yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi dan keadaan tidak normal bagi ibu karena tubuh anak perempuan belum sepenuhnya matang untuk melahirkan. Fakta ini juga sejalan data bahwa Angka kematian Bayi (AKB) di Kabupaten Grobogan meningkat dari 8,78 per 1.000 KH pada tahun 2011 menjadi 17,44 per 1.000 KH pada tahun 2015. Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Grobogan cukup tinggi yaitu sebesar 149,92 per 100.000 KH pada tahun 2015. Meskipun sudah menurun dari capaian tahun sebelumnya yaitu sebesar 188,69 per 100.000 KH, angka ini meningkat dari capaian pada tahun 2011 yang sebesar 114,03 per 100.000 KH. Capaian AKI di Kabupaten Grobogan pada tahun 2015 melebihi target MDGS 2015 yaitu 102 per 100.000 kelahiran hidup.

Kesimpulan

Dari kajian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Tingginya angka pernikahan anak disumbang oleh masalah moralitas, yaitu hamil di luar nikah.
  2. Ada hubungan antara nikah dini dengan rendahnya tingkat pendidikan.
  3. Rendahnya tingkat pendidikan anak perempuan berpengaruh terhadap kemiskinan penduduk, terutama di perdesaan.
  4. Kemiskinan menyebabkan orang tua sering terhambat oleh masalah keuangan, sehingga mendorong mereka untuk menikahkan anak-anak mereka, dan sadar atau tidak, sebagai sarana untuk “melepas tanggung jawab” sebagai orang tua;
  5. Nikah dini menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan angka kematian balita, serta angka cerai di usia muda.

Rekomendasi

                Dari hasil kesimpulan, direkomendasikan solusi sebagai berikut :

  1. Pendidikan agama, moral, dan kontrol yang ketat dari orang tua, sekolah, dan masyarakat harus dilakukan dengan berbagai strategi, karena sebagian besar alasan nikah dini adalah hamil terlebih dahulu.
  2. Melakukan kampanye yang gencar tentang bahaya pernikahan anak dengan melibatkan semua pihak: pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, perangkat desa, sekolah, majelis pengajian dan sebagainya.
  3. Pembentukan lembaga konsultasi psikologis bagi remaja yang berpacaran, remaja yang hamil di luar nikah, remaja yang sudah menikah, serta remaja perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga.
  4. Peningkatan partisipasi sekolah harus menjadi prioritas utama. Upaya meningkatkan pendapatan orang tua miskin yang kesulitan untuk menyekolahkan anaknya juga penting dilakukan agar angka putus sekolah dikurangi;
  5. Pihak sekolah juga harus menyediakan bimbingan konseling yang khusus mengingat krisis moral sudah sampai pada tingkat darurat.
  6. Penyediaan dana yang cukup untuk meningkatkan “daya beli” masyarakat miskin dalam bidang pendidikan, selain membebaskan SPP, juga ada program beasiswa, bantuan makanan tambahan, bantuan transportasi, atau mengubah metode dan waktu jam belajar agar anak-anak miskin masih tetap bisa membantu orang tuanya bekerja, dan siang harinya mereka dapat masuk sekolah dan sebagainya;
  7. Akses layanan ekonomi, lembaga finansial, pelatihan pengembangan ekonomi mikro dan sebagainya harus diutamakan.

Penulis: Lutfi Agus Salim

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://www.ijop.net/index.php/mlu/article/view/1869

Saratri Wilonoyudho and Lutfi Agus Salim (2020). Social Impacts of Child Marriage in Grobogan Regency, Central Java Province, Indonesia. Medico Legal Update, 20(4): 513-518

https://doi.org/10.37506/mlu.v20i4.1869

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).