Menilik Faktor Risiko Green Tobacco Sickness Pada Petani Tembakau di Jember

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

Green Tobacco Sickness (GTS) adalah suatu penyakit pada populasi pekerja. Penyakit ini sering dialami oleh petani tembakau. GTS ditandai dengan gejala utama mual, muntah, pusing, berkeringat yang berlebihan dan terjadi saat kontak dengan tembakau basah. Kontak dengan tembakau basah adalah risiko terjadinya GTS.

Green Tobacco Sickness (GTS) merupakan suatu keracunan akut nikotin yang terjadi melalui penyerapan lewat kulit. GTS terjadi pada populasi pekerja atau petani tembakau, terutama saat penanaman dan panen tembakau. GTS terjadi saat petani kontak langsung dengan tambakau basah. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa GTS ditandai dengan gejala utama pusing, mual, muntah sakit kepala dan sekeresi air liur yang berlebihan kadang-kadang disertai dengan penurunan kesadaran. Risiko keracunan nikotin meningkat saat tercampur dengan kondisi basah karena hujan, embun atau keringat

Penelitian terkini menyebutkan bahwa Faktor Risiko  yang berpengaruh terhadap kasus GTS pada petani tembakau adalah masa kerja OR=2,944, status merokok OR=18,083, keluhan dermatosis OR=3,876 dan status gizi yang dinilai dengan BMI OR=2,643.Petani dengan masa kerja ≥ 18 tahun memiliki risiko 2,944 kali terjadi GTS dibandingkan dengan petani dengan masa kerja <18 tahun. Petani dengan status merokok memiliki risiko 18,083 kali terjadi GTS dibandingkan dengan petani yang tidak merokok. Petani yang memiliki keluhan dermatosi memiliki risiko 1,355 kali terjadi GTS dibandingkan dengan petani yang tidak memiliki keluhan dermatosis. Petani dengan BMI tidak normal (overweight) memiliki risiko 2,643 kali terjadi GTS dibandingkan dengan petani dengan BMI normal.

Masa kerja yang lama berarti akumulasi pajanan hazard semakin besar. Petani tembakau dengan masa kerja ≥ 15 tahun berisiko 2,944 kali mengalami GTS dibandingkan dengan petani dengan masa kerja <15 tahun dan secara statistik signifikan. Masa kerja berkaitan dengan lama beban paparan bahaya yang diterima. Paparan jangka panjang dapat mempengaruhi sistem sensorik somatosensori dan proses sentral informasi sensorik.

Lama kerja <8 jam merupakan faktor proteksi. Petani dengan lama kerja dalam sehari <8 jam akan melindungi dari GTS.Lama istirahat lebih dari 1 jam merupakan faktor proteksi. Petani dengan lama istirahat lebih dari 1 jam akan melindungi dari GTS.

Berdasarkan status gizi, petani yang memiliki status gizi buruk memiliki risiko 2,643 kali mengalami GTS dibandingkan dengan petani dengan gizi baik atau normal. Risiko ini secara statistik bermakna. Petani dengan status gizi yang baik akan memiliki pertahanan diri yang kuat terhadap aktifitas fisik kerja, tidak mudah lelah, tidak mudah sakit sehingga memiliki produktifitas kerja yang tinggi.

Petani dengan higiene individu yang buruk berisiko mengalami GTS 2,289 kali dibandingkan dengan petani dengan higiene individu yang baik. Kebiasaan menggunakan pelindung diri yang buruk berisiko 1,142 kali terjadi GTS dibandingkan dengan yang biasa menggunakan pelindung diri. Penggunaan pelindung diri pada petani tembakau selain mencegah risiko GTS, juga melindungi dari kontak dengan pestisida

Petani yang mengeluh dermatosis, berisiko 3,876 kali terjadinya GTS dibandingkan dengan petani yang tidak mengeluhkan dermatosis. Hal yang sama terjadi pada petani tembakau di North Carolina. Petani yang melaporkan keluhan subyektif ruam lebih berisiko mengalami GTS dengan OR 3,3.  Nikotin pada daun tembakau lebih mudah masuk melalui kulit. Pada kulit yang mengalami ruam, luka, maka nikotin akan lebih mudah diserap.

Buruh tani berisiko mengalami GTS sebesar 1,171 kali dibandingkan dengan pemilik lahan dan petani. Buruh tani mengerjakan hampir seluruh tahap industri tembakau di hulu, sehingga kontak dengan tembakau lebih besar dibandingkan dengan pemilik lahan.

Beban kerja tinggi berisiko mengalami GTS sebesar 1,439 kali dibandingkan dengan beban kerja rendah. Beban kerja tinggi menujnjukkan jenis aktifitas yang dilakukan bervariasi dan dengan frekuensi sering. Hal serupa diungkapkan oleh Hoang Van Minh bahwa petani yang membudidayakan tembakau 3,5 kali memiliki masalah kesehatan dibandingkan dengan yang tidak membudidayakan tembakau.

Tindakan promotif dan preventif yang terintegrasi baik dari pemilik pertanian maupun penyedia pelayanan kesehatan tingkat pertama dalam bentuk penyediaan pelidung diri untuk mengurangi kontak langsung dengan tembakau basah, perilaku hidup sehat tanpa merokok dan menjaga status gizi untuk tetap normal.

Detail tulisan ini dapat dilihat di:


INDIAN JOURNAL OF FORENSIC MEDICINE AND TOXICOLOGY

Risk Factors of Green Tobacco Sickness on Tobacco Farmers

in Jember Indonesia

Penulis : Tri Martiana,  Santi Martini, Anita DPS

http://www.ijfmt.com/scripts/IJFMT_July-Sept.%202020_%20Final.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).