Ketimpangan Pendapatan dan Emisi Karbon Dioksida

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Pikiran Rakyat Depok

Pemasanan global dan perubahan iklim merupakan isu lingkungan global terpenting dalam beberapa dekade terakhir. Para ahli sepakat bahwa peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia, terutama di bidang ekonomi, merupakan penyebab utama dari terjadinya pemanasan global tersebut. Berdasarkan sumburnya emisi GRK global didominasi oleh emisi karbon dioksida (CO2) yang bersumber dari penggunaan energi (energy-related emissions).

Berbagai model antropojenik banyak dikembangkan untuk mengidentifikasi faktor pendorong dari emisi CO2 tersebut dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Ehrlich dan Holdren (1970) memperkenalkan model IPAT (Impact-Population-Affluence-Technology) yang menjelaskan bahwa dampak lingkungan ditentukan oleh interaksi antara jumlah penduduk, pendapatan, dan teknologi. Grossman dan Krueger (1991) menemukan hubungan berbentuk U terbalik antara pendapatan dan degradasi lingkungan. Pola hubungan tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Environmental Kuznets Curve (EKC). Sementara itu, Dietz & Jogerson (2015) mengajukan pendekatan structural human ecology yang didasarkan pada interaksi sosial, terutama faktor demografi, dan lingkungan. 

Studi-studi terbaru mulai mempertimbangkan ketimpangan pendapatan sebagai faktor penentu degradasi lingkungan, khususnya emisi CO2. Secara konseptual hubungan ketimpangan pendapatan dan degradasi lingkungan telah dikembangkan sekitar tahun 1990-an, tetapi pola hubungan tersebut memunculkan perdebatan di kalangan akademisi. Sebagian ahli berpendapat bahwa ketimpangan pendapatan akan mendorong degradasi lingkungan. Kelompok kaya dan berkuasa akan berusaha untuk mengejar keuntungan ekonomi tanpa memperhatikan lingkungan. Kesadaran yang rendah terhadap lingkungan juga dapat memperparah degradasi lingkungan. Fenomena tersebut biasanya terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah. Di sisi lain, para ahli lainnya berargumen bahwa ketimpangan pendapatan justru akan menurunkan degradasi lingkungan melalui dua mekanisme. Pertama, redistribusi pendapatan akan merubah pola konsumsi kelompok kaya dari barang yang berpolusi rendah ke barang yang berpolusi tinggi. Argumentasi tersebut dikenal sebagai Marginal Propensity to Emit (MPE). Kedua, secara politis kelompok kaya dapat mempengaruh pengambilan kebijakan yang berakibat pada rendahnya akses kelompok miskin terhadap energi. Pada tataran empiris, studi-studi di banyak negara tidak menghasilkan kesimpulan umum tentang hubungan ketimpangan pendapatan dan emisi CO2.

Kami mencoba untuk menguji pengaruh ketimpangan pendapatan dan emisi CO2 di Indonesia. Topik tersebut relevan karena Indonesia masuk ke dalam sepuluh negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia bersama dengan negara-negara maju seperti China, Amerika Serikat, Rusia, Jepang, dan Jerman. Ketimpangan pendapatan di Indonesia juga tergolong tinggi dan mempunyai tren yang meningkat. Bahkan ketika 63 persen negara di dunia mengalami penurunan ketimpangan pendapatan atau relatif tidak meningkat, Indonesia mengalami peningkatan dalam ketimpangan pendapatan sekitar 30 persen pada periode 2000-2014. Angka tersebut tercatat paling tinggi dibandingkan dengan semua negara berkembang di seluruh dunia. 

Pengujian menggunaan pendekatan ekonometrika pada data sekunder periode 1975-2017. Selain ketimpangan pendapatan, beberapa variabel dimasukkan ke dalam model analisis sebagai variabel kontrol, yaitu pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan rasio ketergantungan. Hasil studi kami menyimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan berpengaruh negatif terhadap emisi CO2 baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ini berarti bahwa kenaikan (penurunan) ketimpangan pendapatan diikuti oleh penurunan (kenaikan) emisi CO2. Pola hubungan tersebut dikenal seabgai “equity-pollution dilemma”. Namun demikian, hubungan ketimpangan pendapatan dan emisi CO2 bersifat dinamis mengikuti tingkat pertumbuhan ekonomi. Ketika ketimpangan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi terjadi bersama-sama, maka pengaruhnya terhadap emisi CO2 berubah menjadi positif yang mengindikasian “equity-pollution dilemma” semakin mengecil. 

Temuan lain menunjukkan bahwa pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan emisi CO2 berbentuk “U terbalik” yang membuktikan keberadaan EKC di Indonesia. Urbanisasi memberikan efek positif dalam jangka pendek, tetapi positif dalam jangka panjang terhadap emisi CO2. Hasil tersebut memberikan sinyal bahwa hubungan kedua variabel tersebut adalah non-linier. Sementara itu, rasio ketergantungan berpengaruh negatif terhadap emisi CO2 baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hasil tersebut mengimplikasi bahwa ketimpangan pendapatan seharusnya dilibatkan bersama-sama dengan pertumbuhan ekonomi dalam formulasi kebijakan untuk mengurangi emisi CO2 sebagaimana dicanangkan dalam Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). 

Penulis: Deni Kusumawardani

Tulisan ini disarikan dari artikel berjudul “The effect of income inequality on carbon dioxide emissions: A case study of Indonesia”. Heliyon 6 (2020) e04772.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).