Stunting Mempengaruhi Kecerdasan Otak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Suara.com

Kegagalan pertumbuhan merupakan bentuk manifestasi kekurangan nutrisi (undernutrition). Kekurangan nutrisi kronis atau terus menerus dalam jangka lama disebut stunting, yang menandakan proses kekurangan nutrisi kumulatif dan kronis yang dimulai dari masa kehamilan (konsepsi) hingga usia dua tahun, periode khusus ketika perkembangan otak anak berlangsung secara intensif dan cepat. Stunting memiliki konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang terhadap perkembangan otak anak. Stunting didefinisikan sebagai panjang/tinggi badan yang rendah untuk anak sesuai usia rujukannya, menunjukkan perumbuhan linier yang buruk. WHO sendiri mendefinisikan stunting ketika Z-score tinggi/panjang badan anak < –2  standar tinggi badan normal pada usia tertentu.

Di Indonesia sendiri, angka stunting sekitar 36,8% pada tahun 2007, turun menjadi 35,6% pada tahun 2010, namun naik menjadi 37,2% pada tahun 2013. Stunting di masyarakat seringnya tidak dikenali (Manggala et al. 2018) karena tidak memerlukan tindakan rawat inap kecuali ketika anak stunting sakit berat  Anak stunting juga tidak dalam kondisi perlu penanganan cepat atau sekarat Bahkan orang tua sering abai dengan beranggapan bahwa pendek adalah hal yang biasa, selama anak sehat dan menjadikan faktor genetik sebagai penyebab pendek anak. Padahal dampak stunting tidak hanya pada manifestasi tinggi badan saja. Otak menjadi “korban pertama” kondisi malnutrisi yang terjadi secara kronis ini, sehingga sangat mempengaruhi kognitif anak.

Malnutrisi memiliki konsekuensi negatif dalam hal infeksi dan disabilitas, perkembangan otak, pencapaian pendidikan dan potensi pendapatan individu dan komunitas. Nutrisi yang adekuat merupakan faktor inklusif dalam pertumbuhan dan perkembangan normal. Defisiensi nutrisi merusak perkembangan neural anak dengan sangat serius, sehingga menurunkan IQ dan proses belajar. Kualitas nutrisi yang rendah sangat merusak perkembangan kognitif seperti proses belajar, pemecahan masalah (problem solving) dan daya ingat. Malnutrisi di awal kehidupan mempengaruhi daya lihat, kemampuan motorik, kemampuan bahasa dan sosial serta sangat berpengaruh pada usia dewasa seseorang

Berdasarkan data World Bank Group (2018), 30% anak usia dibawah lima tahun di negara berkembang terdiagnosis stunting, artinya tinggi menurut umur rendah karena malnutrisi kronis berulang. Dalam segi akademik dan pendidikan, stunting mempengaruhi:

  • Keterlambatan dalam sekolah

Stunting yang terjadi selama masa kehamilan dan selama usia dua tahun berhubungan dengan keterlambatan anak dalam memasuki usia sekolah, meskipun beberapa usaha penanggulangan setelah usia dua tahun telah dilakukan. Anak stunting sangat sensitif terhadap penyakit dan infeksi, sehingga sering tidak masuk sekolah dan tertinggal pelajaran.

  • Rendahnya performa akademik

Stunting berhubungan dengan rendahnya perkembangan kognitif anak, sehingga mempengaruhi kemampuannya dalam menerima pelajaran dari segi kemapuan literasi. Kemampuan matematika anak stunting 7% menurun daripada anak normal, 12% kemampuan menulis kalimat sederhana baru dapat dilakukan di usia 8 tahun. Anak stunting dengan kerusakan performa belajar mengalami kesulitan menyelesaikan pendidikannya. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan individu dan potensi produktivitas nasional.

  • Masalah perilaku

Kekurangan nutrisi mempengaruhi perilaku anak-anak SD. Ketika anak tidak sarapan, maka mempengaruhi perilaku dan performa akademis. Anak-anak yang kelaparan memiliki kesulitan dalam hal belajar. Kerja otak menjadi dasar semua perilaku manusia, dari kerja sederhana seperti berjalan atau makan hingga kerja kompleks sperti berpikir, berinteraksi dengan sesama atau menciptakan kerja. Perkembangan dan kematangan otak yang tepat dibutuhkan untuk memperoleh fungsi integrasi dan perilaku manusia. Otak melakukan semua fungsi integrasi ini melalui sekitar 1 miliar sel yang saling berkomunikasi satu sama lain melalui interkoneksi khusus, disebut sinapsis.

Plastisitas otak merupakan cara alami perlindungan otak terhadap pengaruh eksternal. Hal ini memungkinkan individu beradaptasi dengan perubahan lingkungan, dan sangat dipengaruhi oleh nutrisi. Anak stunting memiliki kendala kesulitan pemusatan perhatian dan impulsif, kehilangan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi stress, mengalami anxiety dan kehilangan motivasi serta kemapuan eksplorasinya. Kesemuanya memicu penurunan performa pendidikan, sosial dan perkembangan emosional.

Dari penjabaran diatas, penting bagi semua pihak terkait baik dokter, perawat, ahli gizi dan terutama orang tua mencegah kejadian stunting agar tercipta generasi muda yang brilian, cerdas dan semangat sehingga mampu memajukan bangsa dan negara.

Penulis: Roedi Irawan

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://isbn.perpusnas.go.id/Account/SearchAdv?searchCat=Judul&searchTxt=+978-602-473-087-1

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).