Servant Leadership: Strategi Kepemimpinan Berkelas Dunia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Pemimpin ID

Di dalam suatu organisasi, baik besar ataupun kecil, kepemimpinan sangatlah diperlukan. Kepemimpinan memiliki berbagai macam jenis, bentuk pendekatan dan konsep yang berbeda-beda. Setiap pendekatan itu juga memiliki keunikannya masing-maing yang dapat membantu seorang pemimpin dalam memimpin. Pemimpin bebas menentukan kepemimpinan mana yang akan digunakan, namun tentunya didukung juga dengan karakter pribadi pemimpin itu sendiri. Salah satu pendekatan kepemimpinan yang sangat terkenal dan unik adalah servant leadership. Greenleaf (1970) dalam Liden, Wayne, Liao & Meuser (2014) menyatakan bahwa servant leadership didasarkan pada premis bahwa pemimpin yang paling mampu memotivasi pengikutnya adalah mereka yang paling tidak fokus pada pemuasan kebutuhan pribadi dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pengikut. Ketika seorang pemimpin menempatkan prioritas pada pemberian dukungan secara nyata dan emosional untuk pengikut juga membantu pengikut dalam mencapai potensi penuh mereka, pengikut akan melihat pemimpin tersebut sebagai panutan dan mempunyai perilaku yang tepat, bukan melalui paksaan, tetapi karena mereka ingin melakukannya.

Servant leadership terus berkembang hingga pada tahun 1970-an, Robert K. Greenleaf memiliki inisiatif untuk memulai pergerakan moderen pada konsep ini. Robert K. Greenleaf adalah orang yang memperkenalkan kata servant leadership dan konsep “servant-leader” pada esai pertamanya yang kemudian dijadikan buku. Robert K. Greenleaf juga membangun suatu organisasi nonprofit yang befokus pada servant leadership yaitu Greenleaf Center for Servant Leadership. Greenleaf (1977) dalam Sendjaya and Sarros (2002) menyatakan bahwa “servant-leader” dimulai dengan keinginan alami yang diinginkan seseorang untuk melayani, melayani terlebih dahulu. Konsep melayani ini bukan hanya melayani orang-orang tertentu saja, tapi ketika pemimpin mau melayani, berarti melayani semuanya, siapapun, tanpa memandang apapun. Konsep ini juga dapat diterapkan pada seluruh aspek kehidupan dan dalam bidang pekerjaan apapun, salah satunya dalam berbisnis.

Menurut Spears (2010), ada sepuluh karakteristik yaitu, listening, empathy, healing, awareness, persuasion, conceptualization, foresight, stewardship, commitment to the growth of people, dan building community. Karakteristik listening, stewardship, empathy, dan building community diwakili dengan “people orientation”. Karakteristik persuasion, conceptualization, dan foresight diwakili dengan “task orientation”. Karakteristik healing, awareness, dan commitment to the growth of people diwakili dengan “character orientation”.  Kemudian Menurut Sendjaya (2015), ada enam karakteristik servant leadership yaitu, voluntary subordination, authentic self, covenantal relationship, responsible morality, transcendent spirituality, dan transforming influence. Karakteristik voluntary subordination dan covenantal relationship diwakili dengan “people orientation”. Karakteristik authentic self dan transforming influence diwakili dengan “character orientation”. Karakteristik responsible morality dan transcendent spirituality diwakili dengan “process orientation”.

Hasil penelitian pada JW Marriot Hotel Surabaya, sebuah jaringan hotel berkelas dunia yang menggunakan servant leadership menunjukkan bahwa Dalam melakukan pekerjaan, orientasi yang difokuskan oleh karyawan adalah melayani sesama. Mereka memiliki kemauan untuk menjadi panutan yang baik dan menghasilkan departemen yang memiliki nilai dan kekompakan yang kuat untuk saling melayani. Pentingnya karakteristik tersebut telah disadari oleh mereka dan terus dilakukan kepada karyawan lain. Hal ini menyebabkan karyawan lain enggan menjadi pemimpin bukan karena takut, melainkan karena pelayanan dan pemberian diri yang dilakukan oleh mereka. Kemauan untuk mengabdi dengan maksimal akan berdampak sangat baik bagi pertumbuhan karyawan lainnya, seluruh anggota departemen sumber daya manusia itu sendiri, bahkan lebih personal bagi setiap pimpinan (Voluntary Subordination & Stewardship).

Hubungan di dalam departemen itu baik dan dekat. Semua anggota departemen bisa mengobrol dan curhat dengan nyaman baik tentang kehidupan pribadi maupun pekerjaan karena hubungan yang ada sudah solid. Hubungan yang baik ini dapat terbentuk karena adanya sikap pemimpin yang mau mau melayani lingkungannya. Dampaknya juga bisa dirasakan melalui terjalinnya komunikasi dan kedekatan satu sama lain (Covenantal Relationship). Informan sepakat bahwa mendengarkan karyawan lain itu penting. Departemen sumber daya manusia juga sangat terbuka jika ada karyawan dari luar departemen yang datang untuk memberitahu atau berkonsultasi. Komitmen yang kuat terlihat dari keinginan para informan agar bagian sumber daya manusia dapat menjadi orang tua bagi karyawan lainnya, dengan memberikan waktu untuk mendengarkan (Listening).Kesediaan untuk melayani membuat informan selalu ingin memahami karyawan lainnya. Melalui pemahaman yang baik, mereka juga bisa memberikan empati yang benar. Selain itu, karakteristik tersebut dapat menyadarkan mereka bahwa setiap karyawan memiliki perbedaan dan yang menjadikan setiap orang unik. Oleh karena itu tidak hanya untuk dapat berempati dengan baik, pemahaman juga dilakukan untuk mengapresiasi perbedaan tersebut agar karyawan dapat merasa diterima (Empathy).

Kedekatan menghasilkan komunitas internal yang positif. Komunitas yang sudah terbangun ini bisa makan bersama baik sekedar makan siang biasa atau pada hari-hari khusus atau tertentu (seperti akhir tahun, ada ulang tahun, atau merayakan hari raya tertentu). Kedekatan ini membuat semua member sangat antusias melakukan aktivitas bersama. Oleh karena itu, pemimpin dengan servant leadership memiliki peran penting, yang tidak hanya mendekatkan tim tetapi juga membangun komunitas di dalam tim (Building Community).Ketika suatu hubungan semakin dekat, konflik bisa terjadi. Informan umumnya memiliki solusi yang sama, dimana semua dimulai dari pemahaman terlebih dahulu. Ciri-ciri tersebut membuat mereka mampu tumbuh menjadi pemimpin yang mampu mengatasi konflik dengan baik. Selain itu juga dapat berintegrasi dengan sifat empati. Sehingga ketika terjadi konflik, mereka juga bisa menggunakan solusi yang tepat (Healing).

Sensitivitas di departemen sumber daya manusia lebih mudah muncul karena anggota sudah saling memahami. Sensitivitas diterapkan oleh informan ke dalam dan juga di luar departemen ketika berhubungan dengan karyawan lain. Saat seseorang sedang tidak mood, ia tetap mengontrolnya dengan baik agar saat berhadapan dengan karyawan lain tidak terbawa suasana. Seringkali ketika itu terjadi, anggota departemen akan saling membantu untuk memulihkan suasana hati. Berkaitan dengan di luar departemen, jika Anda melihat karyawan lain merokok, kepekaan mereka berupa mengingatkan tentang dampak negatif yang diberikan. Ciri-ciri dari servant leadership ini membantu mereka untuk peduli dan memahami lingkungan sekitarnya (Awareness). Membuat dampak dan membantu karyawan tumbuh dapat dilakukan oleh semua orang dengan porsi masing-masing. Mereka berkomitmen untuk membantu pertumbuhan orang lain sejak awal bekerja, membantu pertumbuhan karyawan dengan menampung dan mengelola tunjangan yang menjadi hak karyawan, dan keinginan untuk mengembangkan karyawan agar dapat tumbuh dengan baik.

Hal-hal di atas menunjukkan ciri-ciri seorang hamba pemimpin. Ciri-ciri tersebut juga mengalir ke dalam departemen, sehingga departemen sumber daya manusia senantiasa melakukan segala upaya untuk membuat program pelatihan menarik yang dapat dinikmati oleh seluruh karyawan, dan menjadikan karyawan berkembang (Commitment to the Growth of People and Transforming Influence).Seorang pemimpin yang benar-benar melayani dapat dilihat melalui tiga poin yaitu kerendahan hati, tanggung jawab dan integritas. Kerendahan hati ini terlihat saat bekerja. Ketika diberi masukan atau kritik, mereka bisa menerima dengan baik dan tidak menghindar. Mereka juga sangat bertanggung jawab untuk melakukan bagiannya secara maksimal. Mereka sangat memegang teguh prinsip integritas, tetap jujur ​​saat melakukan kesalahan dan saat tidak diawasi oleh orang lain serta berani menegur dengan baik jika ada anggota yang melakukan kesalahan. Ciri-ciri tersebut semakin menonjolkan perkembangan pribadi setiap pemimpin, dimana bila pertumbuhan pribadi pemimpin baik maka dampak yang diberikan akan lebih maksimal ke sekitarnya (Authentic Self).

Penulis:Anis Eliyana

Artikel selengkapnya dapat diunduh pada:

http://iratde.com/index.php/jtde/article/view/1221

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).