Bias Persepsi Holier-Than-Thou Antara Mahasiswa dan Pekerja Bisnis di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Doshermaashoy.com

Fenomena bias persepsi holier-than-thou telah banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian terdahulu Holier than thou merupakan salah satu bentuk dari social desirability bias, dimana seseorang cenderung menganggap dirinya lebih etis dibandingkan dengan teman sejawatnya ketika dihadapkan pada suatu dilema etis. Sedangkan Social Desirability bias itu sendiri terjadi ketika individu melaporkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk berperilaku sesuai norma sosial dan melaporkan lebih rendah kecenderungan untuk berperilaku yang tidak diharapakan secara sosial. Pada penelitian-penelitian terdahulu, peneliti menduga bahwa bias persepsi holier-than-thou akan memberi banyak dampak negatif karena mengakibatkan individu tidak merasa memiliki tekanan untuk meningkatkan perilaku etisnya. Dengan kata lain, individu dapat dengan mudah merasionalisasi perilaku tidak etisnya dengan mempersepsikan bahwa orang lain jauh lebih tidak etis daripada mereka.

Penelitian mengenai bias persepsi holier than thou menarik untuk dilakukan di Indonesia, dikarenakan literatur psikologis menunjukkan bahwa bias persepsi ini mungkin tidak bersifat universal. Markus & Kitayama menyatakan bahwa individu-individu yang berasal dari negara timur atau budaya kolektivis cenderung tidak terlalu menekankan keunikan sifat positif mereka dalam kaitannya dengan orang lain. Sebaliknya, ada juga yang menemukan bukti bahwa orang Asia Timur meningkatkan diri sendiri (self-enhance) dan berpendapat bahwa peningkatan diri (self-enhancement) kemungkinan besar merupakan fenomena universal. Di lain sisi Hofstede menempatkan Indonesia sebagai bangsa dengan nilai budaya kolektivisme yang tinggi bila dibandingkan dengan India, Jepang, Malaysia, Filipina, dan negara- negara Arab. Hofstede dan Hofstede dalam penelitiannya menunjukkan Indonesia sebagai negara yang kolektivis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan Indonesia memiliki skor Individualsm Index (IDV) sebesar 14 (skala 1- 100), yang mana merupakan salah satu negara dengan indeks terkecil di dunia. Skor ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia lebih merupakan masyarakat kolektivis dibandingkan dengan individu. Hasil penemuan yang tidak konsisten ini, memunculkan peluang untuk mengkaji kembali keberadaan bias persepsi holier than thou pada budaya kolektivis.

Sampai saat ini, tidak banyak penelitian yang menguji pengaruh gender dan pengalaman kerja terhadap keberadaan bias persepsi ini. Terlebih, belum banyak penelitian yang menguji bias persepsi ini dalam konteks akuntansi di Indonesia. Padahal gender adalah salah satu variabel yang paling sering diteliti dalam literatur etika bisnis. Sebagian besar penelitian terdahulu menemukan bahwa perempuan lebih sensitif terhadap isu etis dibandingkan laki. Meskipun sebagian besar penelitian menemukan bahwa wanita lebih etis daripada laki-laki, namun hubungan antara gender dan pembuatan keputusan etis mungkin tidak sesederhana yang dianggap. Peneliti berpendapat bahwa desirability response bias dapat mengacaukan hubungan antara gender dan pembuatan keputusan etis. Hal inilah yang mendasari  penelitian ini menguji pengaruh gender terhadap desirability response bias, khususnya bias persepsi holier than thou.

Sebuah penelitian dari Narsa et al., (2020) telah menguji adanya bias persepsi holier-than-thou pada mahasiswa akuntansi dan lulusan akuntansi yang telah memiliki pengalaman kerja di Indonesia. Penelitian tersebut mengembangkan penelitian terdahulu dengan menguji pengaruh gender dan pengalaman kerja terhadap bias persepsi holier than thou. Meski ternyata tidak ditemukan bahwa bias holier-than-thou berbeda antara mahasiswa dengan para pekerja bisnis, penelitian tersebut telah berhasil membuktikan bahwa bias holier-than-thou lebih besar terjadi pada perempuan dibandingkan laki-aki.

Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap bias keinginan sosial daripada laki-laki. Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa wanita yang lebih religius melaporkan nilai keinginan sosial yang lebih tinggi daripada wanita yang kurang religius. Selanjutnya, wanita yang lebih religius melaporkan nilai keinginan sosial yang lebih tinggi daripada pria, terlepas dari kecenderungan religius mereka. Selanjutnya, perempuan lebih cenderung dipengaruhi oleh norma masyarakat untuk menciptakan kesan yang baik. Sehingga pada gilirannya, mengarah pada kecenderungan yang lebih besar bagi perempuan untuk merespons dengan cara yang diinginkan secara sosial.

Temuan berkontribusi pada literatur akuntansi dengan menyediakan bukti empiris  mengenai keberadaan bias persepsi holier than thou pada negara dengan budaya kolektivis. Dengan kata lain, penelitian tersebut memberi dukungan terhadap teori akulturasi. Pada kontribusi praktis, penelitian tersebut dapat memberi masukan kepada para pembuat kebijakan untuk meningkatkan budaya etis pada mahasiswa akuntansi dan para pelaku bisnis.

Penulis: Niluh Putu Dian Rosalina Handayani Narsa*, Kadek Trisna Dwiyanti, I Made Narsa.
Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada: https://www.ijicc.net/images/Vol11Iss11/111146_Narsa_2020_E_R.pdf

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).