Hambatan dan Strategi Pengembangan Industri Halal di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrai oleh Pantau.com

Tren industri halal menjadi perbincangan hangat di dunia bisnis internasional saat ini. Jual beli produk halal mencapai $254 Milyar dan mendongkrak perekonomian 1-3% GDP (Gross Domestic Product) pada negara OKI. Menurut Global Islamic Economy Report 2019/2020 Indonesia menempati posisi ke-5 dalam perkembangan industri halal. Hal tersebut sangat kontras dengan kondisi Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki populasi muslim terbesar yang seharusnya memiliki potensi dan kesempatan yang besar dalam industri halal. Hal ini menjadi sebuah tantangan untuk Indonesia dalam mengembangkan kualitas dan kuantitas dalam industri tersebut.

Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin telah mengatur kehidupan umatnya tidak hanya tentang ibadah tetapi mencakup seluruh bagian kehidupan seperti memenuhi kebutuhan hidup umat Islam. Halal secara terminologi berarti sesuatu yang dapat berguna dan tidak menyakiti tubuh, pikiran dan agama. Konsumsi menjadi salah satu pilar dalam ekonomi islam yang harus sesuai dengan konsep halal, hal ini dijelaskan dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqarah ayat 168 “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang Halal dan baik (Thayib)”.  Terdapat tiga aspek halal dan Thayib yaitu tidak mengandung unsur haram, memberikan benefit dampak positif, dan tidak menyakiti akal dan raga.

Analytic Network Process (ANP) adalah salah satu teknis analisis kualitatif yang menghasilkan untuk membuat sebuah keputusan. Perbedaan antara ANP dengan teknis analisis lainnya terdapat pada informan yang boleh digunakan dalam ANP. Menurut Ascarya (2015), dalam penelitian ANP memilih orang-orang yang berpengalaman dan kompeten di bidang yang ingin diteliti sehingga akan memberikan hasil yang terbaik pada rumusan masalah penelitian.

Perkembangan industri halal di Indonesia akan fokuskan pada pemetaan kendala yang terjadi saat ini dengan mengelompokkan lima, aspek pertama yaitu kebijakan yang terdiri dari implementasi Jaminan Produk Halal (JPH) yang masih belum selesai, masih sedikitnya sertifikasi dan standarisasi produk halal, serta masih belum adanya roadmap pengembangan industri halal. Selanjutnya  aspek kedua yaitu sumber daya manusia terdiri dari masih banyaknya produsen yang kurang memperhatikan tentang produk halal dan masih kurangnya pengetahuan produk halal pada pelaku usaha kecil. Kemudian, Aspek ketiga infrastruktur yaitu  kurangnya infrastruktur yang memadai terutama juga kurangnya koordinasi lembaga yang menangani infrastruktur. Kemudian, aspek keempat sosialisasi, terdiri dari kurangnya promosi tentang halal dan kurangnya sosialisasi, pendidikan dan informasi mengenai halal. Aspek kelima produksi, yaitu beberapa kendala seperti terbatasnya bahan mentah yang sudah memenuhi kriteria halal, masih ada beberapa sektor yang bergantung pada import dan terkahir belum adanya definisi standart produk halal.

Hasil analisis ANP menunjukkan bahwa permasalahan utama pengembangan industri halal yaitu aspek sumber daya manusia yang akan berdampak baik pada cepatnya perkembangan industri halal karena memberikan persepsi dan pemahaman yang lebih baik tentang pasar. Selain sumber daya manusia, kendala selanjutnya yaitu infrastruktur dan produksi. Infrastruktur menjadi sebuah hambatan dalam pengembangan industri halal. Hambatan Infrastruktur berkaitan dengan implementasi dari JPH seperti peraturan, sistem, prosedur, hingga jumlah lembaga penjamin halal. Prioritas selanjutnya adalah kebijakan dan sosialisasi. Selanjutnya, perumusan strategi dalam pengembangan industri halal berdasarkan pemetaan hambatan yang telah dilakukan.  Strategi ini dinamakan Strategi Integrasi Industri Halal yang memiliki tujuan yaitu memaksimalkan peran setiap pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi tersebut antara lain, pemerintah, konsumen, investor dan industri.

Strategi Integrasi Industri Halal mencakup dua hal. Pertama, mengkaji faktor-faktor yang dapat meningkatkan preferensi perusahaan atau produsen di industri halal untuk mendapatkan sertifikasi halal, hal ini dapat didorong oleh permintaan di pasar terutama di Indonesia yang mayoritas umat muslim cenderung menganggap bahwa semua produk yang beredar adalah produk halal. Karenanya, pengecekan label halal pada suatu produk yang akan dikonsumsi belum menjadi prioritas. Kedua, Menganalisis peran setiap pelaku dalam industri halal. Pemerintah sebagai regulator dapat memasimalkan dalam merumuskan regulasi terutama dalam sertifikasi halal terutama dalam membuat perusahaan lebih pemerintah mempertahankan sertifikasi halal. Kemudian, Konsumen dengan  memaksimalkan terkait urgensi mengkonsumsi produk berlabel halal maka akan mendorong produsen untuk memperhatikan jaminan halal atas produknya. Kemudian, lembaga keuangan Syariah sebagai investor. Muhamed, N. A., et. Al. (2014) menjelaskan, bahwa kolaborasi industri dapat mengarah pada sistem yang harmonis yang dapat saling mendukung dan investor memiliki peran untuk  menyalurkan dana jangka panjangnya ke industri halal lainnya.

Terakhir, peran industri. Minimnya  keterlibatan umat Islam dalam industri tersebut dapat menurunkan citra negara sebagai negara yang memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri halal, khususnya dalam jangka panjang. Pekerja dan produsen Muslim diharapkan memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang praktik halal, serta standar hukum dan etika Islam. Hal ini dapat mendorong berkembangnya jumlah produk dan perusahaan yang berusaha mendapatkan sertifikasi halal.

Penulis: Tika Widiastuti
Informasi detail dari tulisan ini dapat dilihat pada: https://giapjournals.com/hssr/article/view/2906

(Obstacles and Strategies in Developing Halal Industry: Evidence From Indonesia)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).