Merokok dan Emfisema Paraseptal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Hello Sehat

Emfisema merupakan diagnose patologi sehingga secara klinis sulit dideteksi secara dini.Emfisema dalam tahap lanjut dapat menimbulkan keluhan sesak napas dan termasuk Penyakit Paru Obstruktip Kronik (PPOK). Deteksi dini merupakan upaya untuk mencegah emfisema berlanjut menjadi PPOK. Merokok merupakan faktor risiko emfisema.Pemeriksaan CT scan toraks (HRCT) merupakan sarana diagnose non invasip dan IL-33 dapat  mengetahui pola inflamasi yang menimbulkan stress oksidatip. Emfisema merupakan kelainan paru yang ditandai oleh pelebaran abnormal dan permanen saluran napas distal bronkioli terminalis.Emfisema adalah kelainan yang terjadi bukan mendadak tetapi perlu waktu bertahun-tahun.Melihat kelainan morfologi terjadi di unit pertukaran gas maka akan menimbulkan gangguan fungsi paru sebagai tempat pertukaran gas.Bila kerusakan bertambah luas maka akan timbul keluhan respirasi. Kelainan tersebut bersifat kronis progresip dan menimbulkan kecacatan permanen.Mengingat lokasi kerusakan di unit pertukaran gas maka akan berdampak pada gangguan fungsi respirasi sehingga penegakan diagnose masih cenderung menggunakan spirometri untuk deteksi gangguan fungsi ventilasi.

Emfisema terjadi karena ada interaksi antara host dan pajanan bahan inhalasi berbahaya seperti merokok, pajanan debu  industri. Dari host ada kerentatan genetik yang sudah terbukti berperan yaitu defisiensi alfa1 antitripsin. Bagaimana emfisema terjadi? Dapat dijelaskan lewat hipotesa imbalans protease-antiprotease, stress oksidatip.Menurut hipotesis ketidak seimbangan protease terjadi destruksi dinding alveoli akibat aksi enzim protease yang mendestruksi extracellular matrix (jaringan penyangga ekstrasel). Pada penderita dengan defisiensi alfa1-antitripsin suatu kelainan genetik tubuh tidak mampu menetralisir elastase dari neutrophil sehingga terjadi kerusakan parenkim paru.Emfisema pada penderita defisiensi alfa1-antitripsin biasanya dijumpai pada usia muda. Pada kasus usia muda ini tidak dijumpai defisiensi alfa1-antitripsin dengan hasil pemeriksaan alfa1-antitripsin masih dalam rentang normal.

Pada keadaan normal,ada keseimbangan antara bahan bersifat agresip dan protektip di asinus. Akan tetapi pada perokok yang sudah lama merokok  dapat terjadi stress oksidatip. Stres oksidatip terjadi karena oksidan dari asap rokok maupun yang dihasilkan oleh proses keradangan melampaui antioksidan untuk menetralisir. Reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan dari stress oksidatip pada perokok akan meningkatkan keradangan yang sudah ada. Pajanan asap rokok menimbulkan keradangan saluran napas,yang akan diikuti oleh proses perbaikan (repair) untuk memperbaiki akibat keradangan tersebut Pajanan  asap rokok berulang dapat menghambat proliferasi fibroblast sampai pada tahap ireversibel senescence, sehingga tidak terjadi proses perbaikan parenkim paru dan kondisi ini  berkontribusi pada kejadian emfisema. Pada kasus ini penderita muda yang merokok 16,8 pack-year dengan pola keradangan saluran napas yang ditandai oleh peningkatan IL-33.Akibat peningkatan IL-33 akan terjadi aktivasi makrofag yang akan menimbulkan stress oksidatip.

Apa akibatnya bila kerusakan parenkim paru?Kerusakan parenkim paru yang ditandai oleh hilangnya elastisitas alveoli menyebabkan udara yang dihirup terperangkap di dalam paru dan sulit untuk dikeluarkan. Bila keruskan parenkim paru luas akan timbul keluhan sesak napas.Penderita empfisema yang luas dengan keluhan sesak napas akan masuk dalam kelompok PPOK.

Untuk sampai pada diagnose emfisema diperlukan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, spirometri dan radiologi. Pada individu tanpa keluhan, pemeriksaan fisik  dan radiologi umumnya masih belum ditemukan kelainan. Saat ini CT scan merupakan modalitas yang handal untuk membuat diagnose emfisema terutama dengan high resolution CT scan. Dengan CT scan dapat dibedakan jenis emfisema paraseptal, panacinar dan cetrilobular(proximal acinar). Seperti pada kasus ini emfisema paraseptal yang ditemukan secara kebetulan saat dilakukan pemeriksaan HRCT pada penderita pneumotoraks spontan perokok berat. Sesuai dengan studi kepustakaan emfisema paraseptal jarang menimbulkan keluhan kecuali terjadi pneumotoraks (paru kolaps).

Bagaimana tatalaksana penderita emfisema?Sekali jaringan paru hilang tidak ada pertumbuhan baru lagi.Pengobatan hanya bersifat suportip untuk mencegah perburukan kerusakan parenkim paru.Berhenti merokok adalah tindakan non farmakologi yang efektip mencegah keruskan paru lebih jauh. Sebagai ringkasan dari studi hubungan merokok dan emfisema,diketahui bahwa merokok merupakan faktor risiko emfisema. Perokok berat risiko emfisema  meningkat hal ini terkait dengan keradangan paru yang terus bertambah. Upaya berhenti merokok merupakan pengobatan paling manjur untuk mencegah kerusakan paru lebih jauh karena setelah kerusakan parenkim paru tidak ada proses pertumbuhan baru.

Penulis: Dr. Daniel Maranatha, dr., Sp.P(K)

Informasi lebih detail dapat dilihat pada: Level of serum IL-33 and paraseptal emphysema  in clove cigarette smoker  with spontaneous pneumothorax:A case report. Respiratory Medicine Case Report 2020;30:101133

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).