Aminofilin dan Terapi Asma Bronkial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Alomedika

Berdasar pedoman tatalaksana internasional dan nasional untuk asma,,aminofilin bukan obat pilihan utama pada asma eksaserbasi.Apakah aminofilin tidak aman sehingga bukan merupakan obat pilihan utama? Asma merupakan penyakit inflamasi saluran napas kronis yang ditandai oleh keluhan sesak, mengi, batuk. Gejala dan hambatan aliran udara dapat sembuhsecara spontan atau dengan pengobatan.Umumnya kita mengetahui asma adalah penyakit alergi dan keturunan.Memang asma adalah penyakit yang sebagian besar diturunkan. Karakteristik asma alergi adalah muncul sejak bayi dan ada riwayat keluarga dengan asma.

Karakteristik asma adalah eksaserbasi (kambuh).Eksaserbasi mulai ringan yang umumnya diobati sendiri dengan beli obat di apotik, sampai berat harus ke UGD dan sampai rawat inap. Mengapa bisa eksaserbasi?Ada berbagai sebab yang menimbulkan asma kambuh mulai dari terpapar alergen seperti debu,infeksi virus saluran napas,stress dan yang tidak kalah penting adalah pengobatan tidak adekuat (optimal). Banyak yang menganggap asal keluhan berkurang obat tidak perlu dilanjutkan.Hal ini yang ikut berperan  pada pasien asma menjadi tidak terkontrol.Asma yang tidak terkontrol muda mengalami eksaserbasi.

Pada saat eksaserbasi terjadi penyempitan saluran napas akibat kontraksi otot polos saluran napas dan edem saluran napas.Pengobatan asma saat kambuh adalah memberikan obat untuk melonggarkan saluran napas dan oksigen bukan obat anti alergi. Ada beberapa obat yang berfungsi untuk melonggarkan saluran napas  sempit yang bekerja dengan cepat seperti aminofilin, salbutamol, ipratropium. Menurut pedoman pengobatan yang ada aminofilin bukan obat pilihan pertama.Alasan mengapa aminofilin bukan menjadi pilihan pertama adalah efek samping dan efektivitas relatip rendah. Rentang dosis pengobatan aminofilin memang sempit (10-20 mcg/ml). Namun bila digunakan dengan tepat,aminofilin aman,bermanfaat dan tidak mahal.Hal ini terbukti bahwa di Indonesia amiinofilin masih digunakan secara luas oleh masyarakat untuk mengobati sesak napas.Selain harga yang  cenderung terjangkau dan diproduksi untuk obat OTC (over-the counter)  sebagai obat bebas terbatas yang banyak digunakan oleh masyarakat tanpa resep dokter. Bahkan aminofilin termasuk dalam daftar DOEN (Daftar Obat Esensial Nasional) 2015 berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI no 312/MenKes/SK/IX/2015 tentang daftar obat esensial 2015.

Respons obat pada tiap individu dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penyakit, genetik,faktor lingkungan dan variabilitas dalam respons target obat (respons farmakodinamik). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi penyerapan,distribusi,metabolisme dan pengeluaran obat.Efek merugikan dari suatu obat dapat bersifat individual. Faktor genetik merupakan salah satu faktor yang menyebabkanrespons yang berbeda terhadap terapi. Diperkirakan genetik berkontribusi sekitar 20-95% untuk respons obat yang berbeda.Variabilitas interindividual kinetik distribusi dan eliminasi aminofilin dapat mengakibatkan terjadinya perbedaan kadar aminofilin dalam plasma, menyebabkan konsekuensi klinis yang tidak bisa diprediksi akibat perbedaan respons aminofilin secara iindividu.

Studi farmakogenomik untuk mengetahui efek suatu obat yang dipengaruhi oleh faktor genetik  adalah identifikasi dan karakterisasi polimorfisme genetik enzim yang memetabolisme obat. Studi tersebut  dalam etnis dengan berbagai kelompok individu dapat memberikan pengetahuan substansial tentang mekanisme antar individu. Seperti diketahui theophylline dimetabolisir di hati lewat enzim Cytochrome p450 (CYP450),dan metabolismenya  dipengaruhi oleh enzim CYP1A2.Studi tentang peran CYP450 telah dilakukan dibeberapa negara seperti Jepang.Polimorfisme gen CYP1A2 telah terbukti mempengaruhi kadar theophylline dalam darah. Beberapa studi melaporkan bahwa orang Asia mempunyai metabolisme yang  jelek terhadap beberapa jenis obat sehingga berisiko timbul efek yang  merugikan. Di Indonesia ada studi yang melaporkan bahwa theophylline dieliminasi lebih cepat dari populasi lain sehingga diperlukan dosis yang lebih besar. Pada suku Jawa dilaporkan banyak dijumpai polimorfisme gen CYP1A2*1F,frekuensi gen CYP1A2*1F di populasi orang Indonesia lebih besar dari populasi orang Mesir, Jepang dan Inggris. Individu dengan genotip A/A gen CYP1A2*1F dengan metabolisme yang lebih cepat dari C/C atau C/A hal ini menimbulkan kadar obat yang lebih rendah.Pada studi ini ditemukan ada hubungan antara kadar theophyllin darah dengan polimorfisme gen CYP1A2 di CYP1A2*1D,CYP1A2*1E,dan CYP1A2*1F. Kadar theophylline darah dalam rentang normal dan tidak ditemukan overdose pada pasien asma eksaserbasi yang mendapat terapi aminofilin injeksi pada individu dengan polimorfisme tersebut.

Penulis: Dr. Daniel Maranatha, dr., Sp.P(K)

Berikut link terkait tulisan tersebut: polimorfisme gen CYP1A2 oleh Lorensia A, Ikawati Z, Andajani TM, Maranatha D, Wahyudi M. CYP1A2 gene polymorphism  and theophyllinelevel in asthma. Indones Biomed J. 2019;11:63-69

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).