Diagnosis dan Penatalaksanaan Kusta

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Okezone.com

Morbus Hansen atau lebih dikenal dengan kusta, adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang lebih cenderung menyerang saraf dan kulit. Menurut data dari WHO pada tahun 2017, Indonesia termasuk 3 besar negara dengan jumlah kasus baru kusta terbanyak. India, Brazil dan Indonesia berkontribusi sebanyak 80,2% dari jumlah kasus baru kusta di dunia.  Salah satu masalah yang menghambat upaya penanggulangan kusta adalah stigma atau pandangan negatif yang melekat pada pasien kusta dan keluarganya. Diagnosis dini penyakit kusta sangat diperlukan melalui pemeriksaan secara klinis dan pemeriksaan penunjang, agar pasien bisa mendapat pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) sesuai tipe penyakit kusta yang telah dicanangkan oleh pemerintah.

Secara klinis, histopatologi, dan kriteria imunologi, maka kusta dibagi dalam 6 bentuk menggunakan klasifikasi Ridley-Jopling (1962), yaitu Tuberculoid (TT), Borderline Tuberculoid (BT), Borderline-borderline Mid-borderline (BB), Borderline-lepromatous (BL), Subpolar Lepromatosa (LLs), dan Polar Lepromatosa (LLp). Untuk kepentingan pengobatan, kusta dibagi menjadi dua menurut WHO yaitu tipe pausibasiler dan multibasiler. Diagnosa secara klinis jika dua dari tiga kriteria ditemukan, atau dengan adanya kuman BTA pada apusan kulit, atau dengan histologi khas kusta. Cardinal sign kusta antara lain: (1) Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematous, misalnya makula atau plak, dengan kehilangan sensasi pada kulit; (2) Penebalan atau pembesaran saraf perifer dan tanda-tanda kerusakan saraf perifer, seperti kehilangan sensoris, paralisis atau disfungsi sudomotor dengan atau tanpa pembesaran saraf; (3) Ditemukan Basil Tahan Asam (BTA) di apusan dan/atau biopsi yang diambil dari lesi kulit. 

Tidak ada tes laboratorium yang dianggap cukup untuk mendiagnosis kusta. Dalam kasus yang meragukan reaksi intradermal Mitsuda, apusan kulit dan histopatologi sering memungkinkan untuk mengkonfirmasi diagnosis kusta dan mengklasifikasi bentuk klinisnya. Hasil apusan kerokan kulit yang negatif  belum tentu dapat mengeluarkan dugaan penyakit kusta. Biopsi kulit merupakan evaluasi secara histopatologi yang akurat dalam mengklasifikasi lesi kusta. Biopsi pada saraf perifer merupakan sebuah cara yang sangat berguna dalam diagnosis penyakit kusta ketika pemeriksaan fisik dan pemeriksaan biopsi kulit tidak mendapatkan hasil yang jelas. Tanda khas secara histopatologi dari kusta tuberkuloid adalah keberadaan granuloma sel epitel. Lesi saraf pada lepra lepromatous (LL) dikarakteristikkan dengan multiplikasi bakteri tanpa adanya penghambat, terutama di sel Schwann. Pada lepra BB-LL, adanya keterlibatan fokal dan difus dari saraf.

Pewarnaan S-100 yang secara selektif mewarnai sel Schwann, dapat digunakan untuk mengeluarkan sisa-sisa saraf yang hancur pada granuloma tuberkuloid. Beberapa publikasi telah jelas membawa manfaat dari pewarnaan ini pada diagnosis kusta tuberkuloid dan membedakannya dari granuloma tuberkuloid lain pada kulit seperti tuberkulosis, infeksi jamur dalam dan sarkoidosis. Antibodi monoklonal (MAb), MLO4 yang secara spesifik bereaksi dengan 35 kDa epitop M. leprae, digunakan untuk deteksi antibodi pada pasien kusta.

Pada beberapa studi telah dinilai bagaimana baiknya PGL-1 memperkirakan kontak kusta dapat menjadi seorang pasien kusta. Kehadiran antibodi anti-PGL-1 membantu mengklasifikasikan bentuk klinis, dimana pasien MB menunjukan titer antibodi tinggi dan PB menunjukan titer yang sedikit atau tidak ada, dengan presentase pasien seropositive PGL-1 mulai dari 80-100% dalam kasus lepra lepromatosa dan 30-60% kusta tuberkuloid. Pemeriksaan lainnya yaitu PCR yang merupakan alat diagnostik yang sederhana dan sensitif digunakan untuk mendeteksi, mengukur, dan menentukan viabilitas M. leprae, secara signifikan. PCR mendeteksi M. leprae sebelum adanya tanda-tanda penyakit yang jelas dalam kelompok beresiko tinggi (kontak serumah).

Pengobatan kusta adalah dengan Multi Drug Therapy (MDT) WHO (1998, 2012). Pengobatan dengan MDT disesuaikan berdasarkan tipe kusta yaitu PB dan MB. Pada tipe PB diberikan obat rifampisin dan dapson sebanyak 6 dosis yang diselesaikan dalam 6-9 bulan, dan tipe MB diberikan rifampisin, dapson, dan klofazimin sebanyak 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan. Efek klinis dari rifampicin juga sangat cepat. Pada pasien kusta tipe lepromatous, lesi pada kulit akan mulai menghilang dalam 2 sampai 3 bulan.

Respon klinis pemberian dapson pada pasien kusta pausibasiler (TT dan BT) cukup bervariasi; sekitar 2/3 pasien ditemukan penyembuhan sempurna dalam 6 bulan. Klofazimin memiliki efek bakterisidal yang ringan terhadap M.leprae, efeknya sedikit lebih rendah dibandingkan dapson. Efek samping pemberian rifampisin antara lain perubahan warna urin, air mata, dan keringat menjadi merah-oranye. Reaksi hipersensitif berupa sindrom dapson sering terlihat pada pasien yang telah menjalani pengobatan selama beberapa bulan. Perubahan warna kulit menjadi merah kecoklatan, karena deposisi klofazimin di kulit meningkatkan pigmentasi, merupakan hal yang sering ditemukan.

Penulis: dr. Medhi Denisa Alinda, Sp.KK.

Informasi detail dari artikel ini dapat dilihat pada tulisan kami di: https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/14163
(Diagnosis and Management of Leprosy)

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).