Maskulinitas Pria Dewasa dan Akses Layanan Perawatan Kesehatan Tingkat Primer di Surabaya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Kanal Pengetahuan

Label maskulin memberikan sumbangsih terhadap perspektif pria dalam memandang dirinya sendiri sebagai pribadi yang tangguh, tidak mengeluhkan gejala kesehatan, ataupun mencoba segera mendapatkan bantuan profesional kesehatan saat merasakan gejala kesehatan. Di sisi yang lain, maskulinitas memberikan kontribusi terhadap kebiasaan pria untuk mengadopsi perilaku-perilaku beresiko, seperti merokok, diet yang buruk, alkoholisme, dan tindakan berbahaya di jalan raya. Sebutlah kanker paru, kanker prostat, kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan alkoholisme sebagai beberapa dampak negatif akibat label yang melekat di masyarakat. Karenanya maskulinitas dipercaya menjadi kontributor terhadap kesehatan dan kemauan pria untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. 

Lebih jauh, secara global turut menjadi penyebab usia harapan hidup pria yang umumnya lebih pendek dibandingkan dengan wanita. Maskulinitas dikaitkan dengan 20% angka kematian pria sebelum mencapai usia 65 tahun. Seperti contohnya di US, disparitas usia harapan hidup pria mencapai 5-7 tahun lebih pendek jika dibandingkan dengan usia harapan hidup perempuan. Di Asia Tenggara, diperkirakan disparitas usia harapan hidup lebih signifikan, tercatat 8 juta kasus kematian pria di usia produktif (sebelum 65 tahun), 1,5 juta kasus lebih banyak jika dibandingkan dengan angka kematian di usia yang sama pada kelompok wanita. Lebih spesifik di Indonesia, usia harapan hidup pria dilaporkan 4-5 tahun lebih rendah akibat penyakit menahun jika dibandingkan dengan kelompok wanita.

Keengganan pria untuk memeriksakan diri segera saat merasakan gejala kesehatan dilaporkan sebagai fenomena yang umum terjadi di seluruh dunia. Namun, hal ini belum pernah dibuktikan di Indonesia. Kami melakukan studi berskala kecil untuk menguji kebenaran fenomena tersebut. Kami mengundang kelompok pria berusia di atas 20 tahun sebagai responden untuk mengevaluasi kecenderungan mereka terhadap label maskulin dan dalam kaitannya dengan kesigapan mereka mengakses layanan kesehatan tingkat pratama di Surabaya. Seperti dilaporkan pada publikasi penelitian-penelitan internasional lain, mendapatkan responden pria jauh lebih sulit jika dibanding dengan mendapatkan responden wanita. Lebih dari seribu undangan yang kami sebar, hanya sebanyak 134 pria yang merespon undangan yang kami berikan. Survey kami mengidentifikasi ideologi maskulinitas, keterikatan terhadap label maskulin, konflik gender internal, dan pendapat pria untuk mengakses pelayanan kesehatan tingkat pratama. 

Hasil survey kami menunjukkan bahwa kebanyakan pria menganggap kebiasaan mengungkapkan perasan kepada orang terdekat sebagai perilaku feminin yang harus dihindari. Mereka menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan mispersepsi bahwa mereka tidak mampu memperbaiki barang yang rusak di rumah, ingin dianggap dapat diandalkan, menjadi orang yang bertanggungjawab atas wanita, dan tidak ingin dianggap sebagai homoseksual. Di sisi lain, mereka beranggapan menjadi orang yang dominan, menguasai emosi, melakukan tindakan beresiko, terlibat di dalam konflik bukan merupakan hal-hal yang penting. Hal ini mengindikasikan kecenderungan mereka terhadap ide ‘maskulin’ pada tingkat yang moderat. Pada aspek pemanfaatan pelayanan kesehatan pratama, setengah dari keseluruhan responden kami memiliki kecenderungan yang tinggi untuk mengakses pelayanan kesehatan saat merasakan gejala kesehatan. Setengah yang lain, menyatakan keengganan untuk mengakses segera saat merasakan gejala kesehatan. 

Karenanya, analisa kami berujung pada kesimpulan bahwa maskulinitas pria yang terlibat di dalam penelitian ini berada pada tingkat moderat dan tidak menjadi penentu tinggi rendahnya kecenderungan mereka untuk mengakses pelayanan kesehatan pratama saat merasakan gejala kesehatan. Temuan ini menarik, dan novel, karena berbeda dari anggapan umum bahwa maskulintas menjadi kontributor akses terhadap pelayanan kesehatan pada kelompok pria. Namun, kami juga menyadari salah satu kelemahan dari survey adalah kejujuran saat pengisiannya dapat diragukan. Juga, angka partisipasi pria yang rendah dalam survey ini dapat menjadi sumber kelemahan analisis yang dilakukan. Setidaknya, survey yang kami lakukan menjadi batu loncatan penelitian pada kelompok pria dalam topik maskulinitas dan kesehatan di Indonesia. Kami berharap, penelitian yang melibatkan pria dalam perspektif kesehatan di masa yang akan datang lebih banyak lagi, menyusul ketertinggalannya ke titik popularitas penelitian wanita dalam perspektif kesehatan di Indonesia.

Penulis: Setho Hadisuyatmana

Informasi lebih lengkap tentang riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:  HADISUYATMANA, S., IMA DUDINI, A.K., EFENDI, F. and ULFIANA, E., 2020. Men’s attachment to masculinity and preference in accessing primary health care service in URBAN area of Surabaya, Indonesia. Journal of Global Pharma Technology, 12(2), pp. 805-814. http://www.jgpt.co.in/index.php/jgpt/article/view/3381/2663

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).