Ketidakberdayaan Anak yang Dilacurkan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi anak yang dilacurkan. (Sumber: kbr.id)

Membongkar dan memahami eksploitasi yang dialami anak-anak perempuan dari perspektif teori kritis sesungguhnya tidak hanya menempatkan posisi anak perempuan sebagai korban dari lingkungan struktural industri seksual komersial yang eksploitatif dan lingkungan sosial patriarkhis yang mensubordinasi, tetapi juga memahami posisi anak-anak perempuan yang dilacurkan sebagai korban dari proses komodifikasi dan posisi mereka sebagai anak yang senantiasa asimetris ketika berhadapan dengan orang dewasa dan pelaku child abuse di sekitarnya.

Berbeda dengan pelacur dewasa yang karena proses bergulirnya waktu cenderung mampu beradaptasi dan mengembangkan mekanisme resistensinya sendiri, anak-anak perempuan yang dilacurkan seringkali harus berada pada posisi yang asimetris, rentan dan tidak berdaya menghadapi tekanan dan eksploitasi yang dilakukan orang-orang dewasa di sekitarnya, entah itu germo, mucikari atau laki-laki tukang jajan yang telah membeli jasa di bidang layanan seksual.

Di industri seksual komersial, praktik pelacuran yang melibatkan perempuan dan anak-anak perempuan di bawah umur sesungguhnya adalah salah satu bagian dari industri dan perdagangan seks global yang telah menggurita dan merambah ke berbagai bentuk layanan. Seperti dikatakan Ronald Weitzer (2010), bahwa yang dimaksud dengan industri seks global, selain prostitusi, sebetulnya di dalamnya juga termasuk pornografi, peredaran gambar, majalah dan video porno, tari telanjang, telepon seks, toys sex, perdagangan anak dan perempuan untuk pelacuran, dan lain sebagainya. Hanya saja  muara dari seluruh perkembangan aktivitas industri seksual, biasanya adalah pada terjadinya praktik pelacuran yang melibatkan pertemuan antara lelaki sebagai konsumen dengan perempuan dan anak-anak perempuan sebagai pelacur yang perannya tak beda dengan komoditi atau barang yang diperjual-belikan.

Perkembangan berbagai bentuk pornografi dan mainan seksual, dalam banyak kasus adalah penstimuli dari makin maraknya praktik pelacuran dalam berbagai bentuk. Seseorang yang gemar menonton film porno, suka membeli sex toys, dan lain sebagainya, maka untuk melampiaskan libido yang tengah naik gara-gara terangsang, tak pelak adalah mencari lokalisasi atau mencari gadis-gadis panggilan untuk dijadikan teman kencan.

Bagi teoritisi Feminisme Materialis, seperti Chistine Delphy (1984), ia menyatakan bahwa sumber dari ketidakberdayaan yang dialami (anak) perempuan, tak pelak adalah cara kerja kapitalisme yang eksploitatif dan ideologi patriarkhis yang menindas perempuan, tetapi lebih dari sekadar korban struktur yang tidak adil, studi ini menemukan kisah anak-anak perempuan yang terjerumus menjadi penjaja syahwat sesungguhnya adalah ekses dari pertautan struktur ekonomi yang memarginalisasi dan imbas dari represi kultural yang dialami anak perempuan ketika mereka menghadapi perubahan gaya hidup yang makin permisif dan hegemoni nilai patriarkhis yang cenderung menempatkan mereka sebagai terdakwa daripada sebagai korban yang menarik rasa simpati dan empati.

Anak-anak perempuan yang dilacurkan umumnya kesulitan untuk keluar dan pindah ke pekerjaan yang lain, bukan karena dilarang atau dicegah para germo yang menginginkan terus-menerus memanfaatkan kebeliaan mereka untuk mengeruk keuntungan, tetapi dalam banyak hal kesulitan dan keengganan anak perempuan berhenti dari pekerjaannya juga dipengaruhi ketakutan mereka terhadap stigma yang dibebankan masyarakat umum terhadap status mantan pelacur yang senantiasa dicurigai a-moral dan a-susila.

Keterlibatan anak-anak perempuan dalam industri seksual komersial bukan semata karena didorong motif ekonomi dan ketidakberdayaan mereka, tetapi juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang makin permisif, tindakan child abuse yang dialami dalam keluarga, dan modus rekruitmen yang pro-aktif, yang dikembangkan para germo dan mucikari.

Lebih dari sekadar akibat tekanan kemiskinan, kurangnya pendidikan, dan tidak dimilikinya akses yang memadai ke dunia pasar kerja, keterlibatan dan terjerumusnya anak-anak perempuan dalam industri seksual komersial sesungguhnya adalah imbas dari perkembangan gaya hidup dan perilaku berpacaran remaja yang makin permisif, korban dating rape, akibat dari terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak di rumah (child abuse), korban keluarga yang broken home, korban praktik penipuan dan modus rekruitmen PSK anak yang berhubungan dengan meningkatnya permintaan pasar terhadap PSK-PSK baru dan belia, serta akibat pengaruh dan godaan peer-group yang menawarkan jalan pintas untuk mengatasi problema dan tekanan kebutuhan hidup. Latar belakang keluarga yang tidak harmonis, kecenderungan menjadi korban child abuse dan godaan lingkungan sosial yang keliru adalah faktor gabungan yang menyebabkan anak-anak perempuan rentan terjerumus dalam industri seksual komersial sebagai jalan pintas untuk memperoleh penghasilan dan pelarian dari problema yang dialaminya di rumah. (*)

Penulis: Bagong Suyanto, Medhy A. Hidayat, dan Rendy Pahrun Wadipalapa

Artikel lengkap bisa diakses pada link berikut ini:

https://www.researchgate.net/publication/342671628_Sexual_exploitation_and_violence_of_prostituted_children

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).