Wewenang Lembaga Kepresidenan dalam Penolakan Pengesahan RUU APBN oleh DPR

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh MetroBali

Setiap negara tentulah memiliki sebuah konstitusi yang pada umumnya digunakan sebagai pedoman pada saat menjalankan roda pemerintahannya. Dalam konstitusi di Indonesia yang menerapkan sistem pemerintahan presidensiil, menggunakan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) antar lembaga yang digunakan dalam rangka menjalankan prinsip pemerintahan dengan checks and balances. Salah satunya adalah terhadap hal pengelolaan keuangan negara yang dituangkan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya. UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada Presiden sebagai lembaga eksekutif dalam mengajukan RAPBN serta memberikan sebuah kewenangan kepada DPR sebagai lembaga legislatif untuk menyetujui RAPBN yang diajukan oleh Presiden. Penyetujuan DPR atas RAPBN dianggap sebagai hal yang krusial dalam pembentukan dan penetapan APBN sehingga apabila terjadi penolakan terhadap RAPBN oleh DPR serta upaya yang dapat ditempuh oleh eksekutif dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

Dalam rangka menguatkan checks and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, salah satu bentuk penguatan tersebut adalah dalam hal keuangan yang diatur dalam Pasal 23 jo. 23C UUD NRI 1945. Pada prinsipnya pengaturan dan pengelolaan keuangan negara dilakukan melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan dengan undang-undang, yang harus dibahas bersama untuk mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Namun berbeda dengan kewenangan konstitusional untuk membentuk undang-undang, yang kekuasaannya ada pada DPR dengan persetujuan Presiden, khusus dalam menyusun APBN, secara eksplisit Pasal 23 Ayat (2) UUD NRI 1945 mengatakan bahwa, rancangan undang-undang APBN harus diajukan oleh Presiden, mengingat pemerintah yang dianggap paling tahu mengenai pemerintahan dan pembangunan, paling banyak mempunyai SDM pendukung yang ahli di berbagai bidang pembangunan dan pemerintahan, selain itu lembaga pemerintahlah yang nantinya akan menjalankan pelaksanaan APBN itu sendiri untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan diperkuat dalam Pasal 20A UUD NRI 1945 dimana DPR memiliki fungsi anggaran yakni salah satunya adalah memberikan persetujuan atas RUU APBN yang diajukan oleh Presiden. Rancangan APBN yang harus diajukan oleh pemerintah ini sesuai dengan konsep “budget request” yang dipraktikan di beberapa negara dewasa ini, seperti di Amerika Serikat.

Dalam hal ini dapat terlihat bahwa kedudukan DPR dalam hal keuangan sangatlah kuat, mengingat program-progam yang direncanakan oleh eksekutif tidak dapat dilaksanakan apabila DPR dengan fungsi anggaran yang dimiliki tidak dapat memberikan persetujuan sebagaimana mestinya. Presiden yang mengajukan permohonan, sedangkan DPR yang memberikan persetujuan atau penolakan, baik satu per satu bagiannya ataupun secara keseluruhan rencana anggaran pendapatan dan belanja negara itu. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjalankan pemerintahan, antara eksekutif dan legislatif sering terjadi konflik, khususnya dalam konflik kepentingan politik, bahkan tidak jarang terdapat hubungan politik yang buruk antara eksekutif dan legislative. Hal-hal seperti inilah yang dapat membuat pembahasan RAPBN begitu sulit, bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa RAPBN akan ditolak oleh anggota DPR. Jika DPR menolak penetapan RUU APBN memang Pemerintah masih dapat memakai UU APBN tahun lalu, namun hal ini tentu akan menimbulkan gejolak yang sangat luar biasa di bidang perekonomian.

Sepanjang Indonesia merdeka, apabila telah terjadi penolakan RAPBN oleh DPR, Indonesia belum pernah melaksanakan ketentuan yang ada di dalam konstitusi yakni menggunakan APBN pada tahun sebelumnya. Namun mencermati isi APBN dari tahun ke tahun memang terdapat banyak kemiripan pada substansinya dengan adanya sedikit perubahan agar menyesuaikan keadaan ekonomi makro dari negara Indonesia sendiri. Sehingga pemberlakuan APBN pada tahun sebelumnya dapat dipandang sebagai langkah paling terakhir yang akan diambil oleh Pemerintah jika terjadi deadlock dan tidak lagi ditemukan jalan keluarnya.

Pemerintah adalah pihak utama yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan sosial masyarakatnya secara terencana, melembaga dan berkesinambungan dalam mencapai tujuan untuk memenuhi kesejahteraan masyarakat. Dengan begitu, negara didorong secara maksimal untuk menggunakan sumber daya kekuasaannya hanya jika memberi manfaat terhadap kesejahteraan rakyat. Secara tersirat hal itu menjadi tujuan pula dari konsep saling kontrol dan imbang yang memberi manfaat terhadap terlaksananya sistem pemerintahan yang baik yang menjadi landasan dari praktek pemerintahan yang melayani. Dengan demikian hubungan pemerintah dengan DPR benar-benar mencerminkan sistem checks and balances, di mana eksekutif bukan hanya semata sebagai payment checks. Sesuai dengan teori dan sandaran Pasal 22 UUD NRI 1945, selama tidak bertentangan dengan Konstitusi dan UU yang ada, juga karena pengajuan RUU APBN dimaksudkan untuk mencapai cita-cita pemenuhan negara terhadap kemakmuran masyarakatnya, maka pemerintah dapat mengambil opsi dengan mewujudkan Perpu APBN dalam hal terjadi penolakan RUU APBN oleh DPR, karena hal tersebut merupakan hak konstitusional pemerintah. 

Penulis: Bagus Oktafian Abrianto 
Link terkait tulisan di atas: Hak Konstitusional Lembaga Kepresidenan Dalam Penolakan Pengesahan RUU APBN Oleh DPR_ http://jurnalius.ac.id/ojs/index.php/jurnalIUS/article/view/633

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).