Perkembangan Gugatan Pelanggaran Hukum setelah Berlakunya Undang-Undang Administrasi Pemerintahan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Publika

Keberadaan gugatan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) merupakan salah satu sarana perlindungan hukum masyarakat atas tindakan (handeling) yang dilakukan oleh pemerintah.  Adapun konsep mengenai onrechtmatige overheidsdaad berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu. Perubahan konsep Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) di dalam Pasal 87 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, menyebabkan gugatan onrechtmatige overheidsdaad yang dahulu merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri, berubah menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara. Penelitian ini berusaha memaparkan mengenai perubahan pengaturan dan perubahan konsep onrechtmatige overheidsdaad pasca berlakunya Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014.

Beralihnya kewenangan untuk memeriksa gugatan onrechtmatige overheidsdaad dari lingkungan peradilan umum ke peradilan tata usaha negara memiliki berbagai konsekuensi yuridis, mulai dari perubahan hukum acara, petitum dan posita. Salah satu konsekuensi yang cukup penting adalah perubahan terkait dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi, dimana dahulu ketika gugatan onrechtmatige overheidsdaad merupakan kompetensi absolut pengadilan negeri, maka pelaksanaan putusan tergantung dari itikad baik (good will) dari pemerintah, namun pasca beralih ke kompetensi absolut PTUN, maka terdapat mekanisme upaya paksa agar putusan tersebut dapat dijalankan oleh instransi pemerintah terkait (tergugat).

Kerangka dan sarana perlindungan hukum warga negara atas tindakan pemerintah beberapa kali mengalami transformasi dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia. Transformasi semacam ini tentu tidak dapat dihindari, mengingat hukum sebagai sebuah institusi sosial akan terus berkembang dan berubah. Transformasi tersebut juga merupakan suatu bentuk pambaharuan atau pembangunan hukum, yakni upaya sadar, sistematis, dan berkesinambungan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang semakin maju, sejahtera, aman dan tenteram didalam bingkai landasan hukum yang adil dan pasti. Secara singkat, tujuan adanya pembangunan atau pembaharuan hukum ialah tegaknya keadilan (justice), kemanfaatan dan kepastian hukum (rechtszekerheid) sesuai dengan kondisi dan siatuasi masyrakat yang ada pada saat itu. 

Perkembangan terakhir dalam transformasi hukum administarsi di Indonesia adalah dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014). Undang – Undang ini memperluas definisi KTUN, dimana tindakan faktual juga dimaknai sebagai suatu KTUN (vide pasal 87 UU 30/2014). Dengan konstruksi demikian, maka PTUN menjadi memiliki kewenangan memeriksa gugatan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa/pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Mahkamah Agung lewat berbagai produk hukum yang dikeluarkannya juga telah menegaskan kompetensi PTUN mengadili perkara onrechtmatige overheidsdaad, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad)

Beralihnya kewenangan untuk memerikasa gugatan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa/pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad) dari lingkungan peradilan umum ke peradilan tata usaha negara tentu memiliki berbagai konsekuensi yuridis, mulai dari perubahan hukum acara, petitum, posita, dan sebagainya. Dengan berkembangnya konsep KTUN di dalam Pasal 87 UU 30/2014, dapat dilihat bahwa tindakan nyata merupakan salah satu bentuk dari KTUN. Sehingga, gugatan terhadap adanya tindakan nyata yang merupakan gugatan onrechtmatige overheidsdaad yang dahulu merupakan kompetensi absolut Pengadilan Negeri, berubah menjadi kompetensi absolut PTUN. Dengan berubahnya kompetensi absolut gugatan onrechtmatige overheidsdaad tersebut, maka terdapat berbagai konsekuensi yuridis, yaitu perubahan dari segi hukum acara.

Selain perubahan pada hukum acara, adanya perubahan terhadap petitum yang dapat dimintakan dalam gugatan onrechtmatige overheidsdaad ketika diajukan ke pengadilan negeri dengan ketika diajukan ke PTUN. Selain itu, yang paling penting adalah perubahan terkait dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi, dimana dulu ketika gugatan onrechtmatige overheidsdaad merupakan kompetensi absolut pengadilan negeri, maka tergantung dari itikad baik (good will) dari pemerintah, namun pasca beralih ke kompetensi absolut PTUN, maka terdapat berbagai upaya agar putusan tersebut dapat dijalankan oleh instransi pemerintah terkait (tergugat). Bahkan, ketika instransi pemerintah terkait (tergugat) tersebut tidak menjalankan putusan PTUN tersebut, dapat dikenakan sanksi pidana.

Penulis: Bagus Oktafian Abrianto 
Link terkait tulisan di atas: Development of Lawsuit for Law Violation by the Government Post Statute/Law Number 30 of 2014_ https://jurnal.dpr.go.id/index.php/hukum/article/view/1574

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).