Inovasi Sosial dan Kekosongan Aturan Serta Kelembagaan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Generali.co.id

Hubungan antara pemerintah dan lembaga swasta yang bekerja bersama untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintah seringkali dihadapkan pada hal yang dilematis. Sektor swasta berperan untuk menyediakan sarana dan infrastruktur, dan dari penyediaan fasilitas tersebut, sektor swasta mendapat insentif dalam bentuk pendapatan sewa. Dilema yang sering muncul dalam hubungan kerja semacam itu adalah kesenjangan karena perbedaan orientasi. Di satu sisi, lembaga pemerintah berorientasi pada layanan publik dan pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga ini, sementara di lembaga swasta selalu berorientasi pada laba. Kesenjangan terjadi karena pemberian layanan yang lebih baik berbanding lurus dengan biaya yang diperlukan, yang merupakan kewajiban sektor swasta untuk menyediakannya.

Mungkinkah dalam konteks kerjasama antara pemerintah dan swasta yang berbeda orientasi itu muncul inovasi? Di bawah kondisi kekosongan institusional, inovasi sosial ditentukan oleh pilihan rasional pegawai pemerintah yang bekerja di unit tersebut. Pilihan rasional ini didasarkan pada sifat dasar manusia dalam memaksimalkan utilitas dalam arti memaksimalkan manfaatnya. Sifat ini menjadi semacam filter untuk berbagai inovasi yang datang dari pemerintah maupun sektor swasta. Pilihan rasional ini kemudian menjadi semacam filter pada apa yang dilakukan oleh sektor swasta dalam unit kerja sama. Sektor swasta selalu berorientasi pada laba, sementara pemerintah yang diwakili oleh karyawannya berorientasi pada layanan dan pemenuhan tugas dan fungsinya.

Secara teoritis, inovasi sosial membawa manfaat bagi pemerintah, atau dari sudut pandang pribadi dapat dikatakan bahwa jika pejabat pemerintah dapat memaksimalkan utilitas maka inovasi sosial akan diterima. Seringkali pejabat pemerintah menyetujui inovasi setelah mendapatkan kepercayaan bahwa inovasi tidak melanggar kepentingannya atau tidak mengurangi kebutuhannya untuk memaksimalkan utilitas. Studi yang dilakukan menemukan pada dasarnya pegawai pemerintah akan memaksimalkan utilitas dalam konteks kehidupan kerja mereka ketika minat mereka pada pendapatan, pengembangan karir, dan kenyamanan kerja dapat dipenuhi secara optimal.

Studi yang dilakukan menemukan ada 15 karyawan yang memberikan prioritas lebih tinggi pada kenyamanan kerja dibandingkan dengan karier dan penghasilan. Hal tersebut dapat dimengerti, karena dalam hal pendapatan, pegawai negeri memiliki standar yang jelas sehingga mereka merasa cukup sederhana dengan menghindari hukuman disipliner yang mengarah pada penurunan pendapatan mereka. Selain itu, pendapatan untuk pegawai negeri sipil hampir tidak dapat menjadi alat untuk meningkatkan motivasi karena tidak ada instrumen yang tepat untuk mengukur kinerja pegawai negeri sipil. Pengembangan karir menjadi pilihan kedua setelah kenyamanan kerja. Dari 22 orang, ada 8 orang yang memprioritaskan pengembangan karir. Ini terkait dengan peluang yang masih terbuka untuk karyawan muda dan potensial.

Sedangkan untuk karyawan yang mendekati usia pensiun, pengembangan karir tidak lagi menjadi kekuatan pendorong untuk memaksimalkan pemenuhan utilitas. Kenyamanan kerja menjadi pertimbangan paling dominan dalam pemenuhan utilitas maksimal karyawan. Rasa nyaman ini biasanya dihubungkan denga kedekatan lokasi kantor dengan tempat tinggal karyawan. Karyawan biasanya takut akan ancaman mutasi ke luar kota tempat ia dan keluarganya tinggal. Mutasi dapat terjadi jika karyawan salah menjalankan prosedur atau dianggap tidak kompeten dengan pekerjaan. Oleh karena itu, sesuai pernyataan Yang et al. (2019) dan Soo et al. (2019), berdasarkan hal tersebut karyawan akan mencoba mengurangi risiko kesalahan kerja serendah mungkin.

Peningkatan Kualitas layanan dapat dalam bentuk fasilitas dan kecepatan prosedur layanan, atau bahkan pada jumlah tarif yang dikenakan pada pengguna layanan. Wawancara menunjukkan bahwa upaya karyawan untuk mendorong pengusaha memberikan fasilitas yang lebih baik menempati persentase tertinggi dibandingkan dengan upaya meningkatkan layanan dari dua sektor lainnya.

Apa yang ditemukan dari studi yang dilakukan, bahwa dalam kondisi kekosongan aturan yang ada, ternyata hal itu tidak menutup kemungkinan bagi karyawan untuk mengembangkan inovasi. Seperti dikatakan Agostini et al. (2016) bahwa inovasi sosial dibutuhkan untuk mengatasi tantangan kelembagaan kosong. Inovasi sosial adalah bentuk baru kelembagaan dan organisasi, cara baru dalam melakukan sesuatu, praktik sosial baru, mekanisme baru, pendekatan baru, yang memberikan keberhasilan dan kemajuan nyata. Inovasi sosial dilakukan dengan memperhatikan konteks yang terjadi dan para aktor yang terlibat di dalamnya. Selanjutnya melalui tahapan modifikasi/transformasi kebutuhan sosial, solusi inovatif, implementasi inovasi sosial, melibatkan pelibatan aktor dan pemangku kepentingan, dan yang terakhir adalah hasil dari inovasi sosial yang akan mengisi kekosongan kelembagaan.

Penulis: Nugroho Widyo Bharoto dan Bagong Suyanto
Artikel lengkap bisa diakses pada: Nugroho Widyo Bharoto & Bagong Suyanto, The Role of the Rationality in Social Innovation, Opcion, Vo. 35 (2019). https://produccioncientificaluz.org/index.php/opcion/article/view/24598

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).