“Confounding Variable/s” Haruskah Dibuang Begitu Saja?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Merdeka.com

Confounding variable, dalam Bahasa Indonesia berarti variabel pengganggu, adalah variabel yang merusak hubungan antara variabel paparan (exposure) dan variabel terpapar (outcome). Variabel ini dikatakan mengganggu karena keberadaanya sebagai penyebab terjadinya exposure, namun disaat yang bersamaan, keberadaanya juga sebagai penyebab terjadinya outcome.

Cara Mengontrol Confounding Variable/s
Sebuah variabel dikatakan sebagai variabel pengganggu apabila variabel tersebut memiliki dua hubungan unik, yaitu berhubungan positif dengan variabel exposure dan berhubungan positif dengan variabel outcome. Kedua hubungan terbukti secara signifikan. Sebenarnya variabel pengganggu ini bisa saja diabaikan. Tetapi pengabaian ini justru akan mengurangi kualitas penelitian yang dilakukan. Terdapat dua cara mengontrol variabel pengganggu, yaitu melalui modifikasi desain penelitian dan atau melalui analisis data.

Jika mengontrolnya melalui modifikasi desain penelitian, maka peneliti bisa menerapkan randomisasi subjek, memilih subjek secara ketat, dan menentukan kriteria inklusi sesuai tujuan penelitian. Jika mengontrolnya melalui analisis data, maka peneliti bisa menggunakan analisis stratifikasi dan analisis multivariate. Salah satu uji sederhana yang berfungsi untuk mengontrol variabel pengganggu adalah Uji Mantel-Haenzsel. Uji ini merupakan salah salah satu analisis data yang menerapkan metode stratifikasi. Uji ini mampu mengestimasi nilai asosiasi untuk satu atau lebih variabel pengganggu.

Contoh Penggunaan Uji Mantel-Haenzsel
Keterkaitan antara berat badan lahir dan kejadian kejang di 72 jam pertama kelahiran belum konsisten selama beberapa dekade. Terdapat berbagai faktor yang dianggap sebagai penyebab terjadinya kejang. Variabel-variabel tersebut dinilai menjadi faktor yang berdiri tunggal, sehingga upaya preventif yang dilakukan menjadi beragam. Berdasarkan teori, bayi yang lahir < 2500 gram berisiko mengalami kejang 72 jam pertama setelah lahir. Apabila tidak ditangani dengan segera, maka akan berakibat kematian. jika peneliti menemukan variabel yang sifatnya mengganggu, maka upaya preventif dapat difokuskan di varibel tersebut sehingga menjadi lebih efektif dan efisien.

Kami beragumentasi bahwa kondisi air ketuban merupakan confounding variable antara berat badan saat lahir dengan kejadian kejang di 72 jam pertama kelahiran. Hal ini karena bayi berenang di air ketuban selama berada di kandungan ibu. Jika air ketuban jernih, maka bayi tumbuh dan berkembang di lingkungan yang baik, serta kaya nutrisi dan oksigen. Namun jika air ketuban keruh, maka pertumbuhan dan perkembangan bayi akan terganggu karena air tersebut mengandung bakteri jahat. Sifat air yang mampu melewati celah-celah kecil ini membuat bakteri dengan mudah masuk ke dalam tubuh bayi, baik saat di dalam kandungan maupun saat dilahirkan.

Penelitian ini melibatkan 1461 bayi baru lahir di RSU Haji Surabaya. Seluruh bayi tercatat lahir pada bulan Januari 2018 sampai Desember 2018. Sebanyak 121 bayi memiliki berat badan lahir rendah (BBLR) dan 178 bayi menderita sepsis di 72 jam pertama setelah kelahiran, dan 108 bayi berada pada ketuban keruh. Tahap pertama yang dilakukan adalah membuktikan variabel ketuban merupakan confounding variable dengan menggunakan Chi-Square Test. Hasilnya, air ketuban mempengaruhi berat badan bayi selama di kandungan. Selain itu, air ketuban juga mempengaruhi risiko kejadian kejang saat bayi tersebut dilahirkan.

Selanjutnya peneliti membandingkan nilai besar risiko kejadian kejang pada bayi baru lahir di dua kondisi, yaitu mengabaikan kondisi air ketuban dan memperhitungkan kondisi air ketuban. Saat mengabaikan kondisi air ketuban, hasil analisis data menunjukkan bahwa berat badan lahir (BBL) mempengaruhi kejadian kejang sebesar 20,498 kali. Artinya, bayi yang BBL <2500 gram akan berisiko 20,498 kali lebih besar mengalami kejang di 72 jam pertama setelah dilahirkan daripada bayi yang BBL >2500 gram. Namun, setelah memperhitungkan kondisi air ketuban peluang terjadinya kejang meningkat menjadi 24,632 kali. Artinya, kondisi air ketuban merupakan faktor pemberat empat kali lebih besar menyebabkan terjadinya kejang pada bayi baru lahir jika dibandingkan dengan mengabaikan kondisi air ketuban.

Hasil ini dapat menjadi bekal pengetahuan bagi tenaga medis, baik dokter kandungan maupun bidan, agar segera memberi perlakuan khusus kepada bayi yang dilahirkan oleh ibu bersalin yang memiliki air ketuban keruh. Selain itu, hasil ini juga bermanfaat bagi masyarakat luas agar mendukung para ibu hamil melakukan cek kandungan secara rutin di pelayanan kesehatan.

Penulis: Berliana Devianti Putri
Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada:
http://www.ijphrd.com/issues.html periode Year 2020, Volume-11, Issue-5 (May 2020)
Berliana Devianti Putri and Euvanggelia Dwilda Ferdinandus (2020). The Mantel Haenszel Analysis to Control Confounding Variable Between Birth-Weight and Early-Onset Neonatal Sepsis at Hajj Hospital, Surabaya, Indonesia. Indian Journal of Public Health and Research Development, May 2020, Volume 11, No. 05.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).