“VirB4” Sebuah Protein yang Menjadi Kunci Keganasan Bakteri Brucella Abortus

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh dokter sehat

Menjelang datangnya idul qurban seperti sekarang ini, banyak hal yang harus diperhatikan untuk menentukan hewan mana yang sehat dan memenuhi syarat untuk dikorbankan. Pemilihan hewan qurban khususnya sapi selain dari segi cukup usia dan hewan tidak cacat, kesehatan juga merupakan faktor yang penting untuk diamati. Terutama bilamana ada penyakit bersifat zoonosis yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Salah satu penyakit zoonosis yang terdapat pada sapi adalah penyakit brucellosis. Brucellosis adalah salah satu penyakit bakterial zoonosis endemik di banyak negara, terutama negara beriklim tropis seperti Indonesia. Indonesia dengan iklim tropis dikenal dengan cuaca yang hangat serta lembab. Suhu udara rata-rata 20oC-30oC, apabila terik suhu bisa mencapai 32oC-35oC. Hal tersebut menjadikan berbagai mikroba seperti bakteri tumbuh dengan baik termasuk Brucella abortus penyebab brucellosis pada sapi. Brucellosis sendiri dilaporkan di Indonesia mulai tahun 1953 dan kasusnya semakin meningkat tiap tahun sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang besar walaupun mortalitasnya kecil. Hingga saat ini Indonesia belum bebas dari brucellosis.

Penyakit ini menyerang organ reproduksi, baik pada sapi jantan maupun sapi betina. Gejala brucellosis yang nampak pada sapi bunting adalah abortus atau dikenal dengan istilah keluron. Apabila sapi betina dalam keadaan tidak bunting maka dapat menyebabkan produksi susu menurun, hingga infertil. Pada sapi jantan dapat mengakibatkan radang epididimis, radang testis, pembengkakan pada persendian lutut. Pada manusia brucellosis ini dikenal dengan nama undulant fever karena gejala demam dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi. Cara penularan brucellosis dari hewan ke manusia bervariasi. Salah satunya bisa melalui konsumsi susu yang tidak dimasak sebelumnya. Konsumsi daging atau jeroan yang terkontaminasi bekteri penyebab dan tidak diolah dengan baik juga dapat menjadi sumber penularan, dimana masih banyak masyarakat yang gemar mengolah jeroan sapi tersebut untuk bahan masakan. Serta luka terbuka pada pemerah susu sapi dapat menjadi jalan masuknya bakteri jika sapi yang diperah tersebut menderita brucellosis.

Program pengendalian brucellosis sudah dilakukan pemerintah dengan pemberian vaksinasi berupa S19 maupun RB51 tetapi masih belum memberikan dampak yang signifikan. Hal tersebut dapat dilihat data yang menunjukkkan dari masih banyaknya kejadian brucellosis di Indonesia. Oleh karena itu kami melakukan riset secara molekuler pada Brucella abortus sebagai bakteri penyebab Brucellosis dengan  melihat adanya gen penyandi protein VirB4 sebagai faktor virulen agar hasilnya dapat dikembangkan untuk studi lebih lanjut dan dapat dimanfaatkan untuk pengendalian brucellosis. Riset yang kami lakukan bertujuan untuk mengidentifikasi adanya protein virulen VirB4 pada sapi yang terkena Brucellosis dengan menggunakan metode Polymerase Chains Reaction (PCR). Sampel penelitian berupa sapi terinfeksi Brucellosis dan dilakukan swab vagina kemudian ditanam pada media Brucella Agar Medium (BAM) dengan cara streak lalu diinkubasi pada suhu 37ºC dalam inkubator CO2. Petumbuhan koloni bakteri dapat dilihat setelah 3 hari masa inkubasi.  Koloni bakteri yang tumbuh pada media BAM dilakukan pengamatan kemudian dilanjutkan dengan identifikasi bakteri menggunakan teknik pewarnaan Gram, kemudian diperiksa menggunakan uji biokimiawi yaitu : uji katalase, uji urease, uji indol, dan uji sitrat.

Sebelum proses PCR, terlebih dahulu dilakukan ekstraksi dan Isolasi DNA. Setelah itu proses amplifikasi DNA dilakukan dengan menggunakan teknik konvensional PCR. Program thermocycler PCR tersebut dibuat antara lain dengan urutan : proses denaturasi awal selama 45 detik pada suhu 95oC diikuti dengan denaturasi selama 30 detik pada suhu 95oC, annealling selama 60 detik pada suhu 52oC, ekstension selama 60 detik pada suhu 72oC. Siklus thermocycling yang dijalankan sebanyak 35 kali dan diakhiri dengan ekstension akhir selama 7 menit pada suhu 72oC. Elektroforesis hasil PCR dapat divisualisasikan melalui sinar ultraviolet pada panjang gelombang 302 nm dengan menggunakan alat transluminator UV. Elektroforesis DNA dilakukan untuk mengetahui panjang amplicon dari B. Abortus. Pada proses sekuensing DNA, Cycle sequensing dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi 960C selama 10 detik, annealing 500C selama 5 detik, extension 600C selama 4 menit, dilakukan sebanyak 25 siklus. Hasil sekuens yang didapatkan kemudian dianalisis berdasarkan sekuens nukleotida.

Hasil riset yang kami lakukan menunjukkan bahwa terdapat protein virulen VirB4 pada sampel sapi yang terinfeksi Brucella abortus. Amplifikasi DNA mampu menghasilkan gen target yang mengkode protein VirB4 dengan panjang amplicon 1600 basepairs (bp) pada bakteri B. abortus. Sekuensing DNA protein VirB4 B. abortus dilakukan dengan menggunakan produk PCR dan primer yang positif dalam amplifikasi. Urutan nukleotida yang diperoleh dari hasil sekuensing DNA protein VirB4 B. abortus isolat lokal selanjutnya digunakan untuk uji homologi dengan isolat lain di dunia melalui penelusuran Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) menggunakan internet. Dari hasil riset yang kami lakukan maka diperlukan studi lebih dalam tentang antigenitas dari protein VirB4 B. abortus yang ditemukan sebagai kit diagnostik atau kandidat vaksin. Kit diagnostik yang diperoleh nantinya diharapkan dapat mendeteksi kasus Brucellosis lebih dini dan bisa digunakan sebagai upaya pengendalian penyebaran penyakit ini. Sehingga Brucellosis tidak menyebar dari satu ternak ke ternak lainnya, terutama pada sapi. Dan diharapkan dengan kontrol yang baik menjadikan Indonesia bisa bebas brucellosis serta dapat melakukan swasembada daging. 

Dikarenakan yang menjadi permasalahan hingga saat ini adalah kasus Brucellosis masih tinggi terutama di Indonesia dan Brucellosis menjadi Penyakit Hewan Menular strategis (PHMS). Hal tersebut mengakibatkan sapi penderita mengalami abortus serta tidak banyak yang menjadi infertil. Sehingga membuat pemerintah kesulitan untuk mengendalikan penyakit ini. Brucella abortus sebagai penyebab Brucellosis pada sapi merupakan bakteri intraseluler yang membuat bakteri ini susah untuk diobati, bahkan dengan antibiotik sekalipun. Pengobatan yang dibutuhkan juga relatif mahal dan lama. Pertimbangan ini yang membuat pemilik ternak lebih memilih untuk mengafkir hewan mereka daripada mengobatinya. Tetapi pengolahan jeroan yang tidak benar juga dapat menjadi jalan masuk bakteri tersebut ke manusia. 

Pada akhirnya, kami memberikan saran agar kita dapat lebih waspada terhadap penyakit ini, terlebih Brucellosis merupakan penyakit zoonosis sehingga dibutuhkan perhatian yang khusus untuk mengendalikannnya. Terutama di masa idul qurban seperti ini diharapkan kita dapat memilih hewan qurban salah satunya sapi yang sehat dan bebas dari berbagai penyakit menular. 

Penulis : Ratih Novita Praja, drh., M.Si.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di: http://www.ijphrd.com/issues.html
Ratih Novita Praja, Aditya Yudhana, Maya Nurwartanti Yunita, Dhandy Koesoemo Wardhana. (2020). Molecular Characterization of Virb4 Coding Gene: A Virulance Factor on Brucellosis as Zoonotic Disease. Indian Journal of Public Health Research and Development, 11(3): 2378-2282.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).